Jika kita membicarakan klub kebanggaan pasti tidak akan ada habisnya. Aksi permainannya, euforia di stadion, hingga prestasi tim yang mogok menjadi menu obrolan sehari-hari. Belum lagi, masalah pelik antar kelompok suporter selalu menarik untuk dibicarakan.
Padamu Sleman jiwa raga kami !!
Saat kita menyanyikan lagu itu dada kita selalu membusung bangga, tangan terangkat ke atas diiringi suara lantang. Namun apakah anda pernah mengira apa yang dirasakan oleh bapak-bapak terhormat yang sering duduk di bangku pemain cadangan atau di tribun VVIP stadion Maguwoharjo saat PSS bertanding?? kita berharap mereka juga bangga dengan apa yang kita nyanyikan.
Mengapa kita menunjuk bapak-bapak terhormat yang sering duduk di bangku pemain cadangan atau di tribun VVIP ??
Jika kita mengamati siapa saja orang-orang yang berada ditempat itu, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab dengan prestasi PSS belakangan ini. Mereka adalah jajaran manajemen tim PSS yang selama ini mempunyai otoritas untuk membangun tim sedemikian rupa, selain itu di sanalah stakeholder-stakeholder yang selalu menjanjikan prestasi untuk PSS.
Kenyataan yang tidak menyenangkan untuk pecinta PSS Sleman bermula pada tahun 2008 saat PSSI membuat format liga baru yang diberi nama Indosesian Super League. Klub-klub peserta ISL diambil dari 18 klub Liga Indonesia 2007 yang meliputi tim dengan peringkat sembilan teratas dari wilayah barat dan wilayah timur. Saat itu PSS hanya menempati klasemen akhir peringkat ke 12 sehingga tidak lolos ke ISL. Pada perjalanan dalam mengikuti liga divisi utama PSSI, PSS hanya menempati papan tengah klasemen akhir sehingga tidak mampu promosi ke ISL. Prestasi PSS semakin anjlok ketika musim kompetisi tahun 2009/2010 dan 2010/2011 saat PSS hampir terdegradasi ke level divisi I. Pada dua musim tersebut PSS wajib memenangkan pertandingan kandang agar lolos dari jurang degradasi.
Harapan besar sempat dirasakan oleh pendukung PSS Sleman pada saat Real Mataram menawarkan merger dengan PSS Sleman pada tahun 2011. Salah satu tuntutan dari merger tersebut adalah harus bermain di level tertinggi. Namun seiring kompleksnya masalah yang muncul pada saat menjajaki kesepakatan, akhirnya merger tersebut gagal dan PSS tetap bermain di divisi utama. Bahkan, saat ini PSS hanya mampu menghuni papan tengan klasemen paruh musim. Miris….
Bagaimana kinerja manajemen ??
Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dikerjakan bapak-bapak terhormat dijajaran manajemen karena memang porsi kita hanya suporter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar