Di Italia, mereka menyebutnya Totonero. Itu praktik pengaturan skor sepak bola yang pernah mengguncangkan Italia.
Tapi
di Italia, skandal pengaturan skor rupanya tak selalu punya pengaruh
buruk. Itu dibuktikan timnas Italia. Empat kali tersandung skandal itu,
Gli Azzurri mampu bangkit meraih dua gelar Piala Dunia, dan menjadi
finalis Piala Eropa.
Ingat Paolo Rossi, top scorer saat
timnas Italia merebut Piala Dunia 1982. Rossi mencetak enam gol.
Padahal selama dua tahun sebelumnya, dia tak pernah bermain karena
tersandung Totonero. Bahkan klub seperti AC Milan juga pernah
terjengkang oleh Totonero. Klub itu dihukum turun ke Serie B.
Skandal
Totonero ini melibatkan pertandingan di Serie A dan Serie B. Klub-klub
yang terlibat adalah Milan, Lazio, Perugia, Bologna, Avellino, Taranto
dan Palermo. Milan dan Lazio diturunkan ke Serie A, sedangkan Presiden
Milan saat itu, Felice Colombo, dihukum tidak boleh berkecimpung di
sepakbola Italia seumur hidup.
Tokoh utamanya adalah dua pebisnis
asal Roma, Massimo Cruciani dan Alvaro Trinca. Keduanya melihat ada
celah mendapatkan uang dari pertandingan sepakbola. Dengan mengenal
banyak pemain dari skuad Lazio pada waktu itu, Cruciani dan Trinca lalu
menyuap mereka untuk menentukan hasil akhir pertandingan.
Ada 20
pemain dihukum Federasi Sepakbola Italia (FIGC) saat itu. Tapi Paolo
Rossi paling disorot media. Setelah dipinjamkan Vicenza ke Perugia,
Rossi dianggap terlibat skandal pengaturan skor di Perugia. Meski
menyatakan dirinya tidak bersalah, Rossi dijatuhi hukuman tiga tahun,
yang lalu dipotong menjadi dua tahun.
Masa hukuman Rossi berakhir
tepat sebelum bergulirnya Piala Dunia 1982 di Spanyol. Keputusan
pelatih Enzo Bearzot memasukkan Rossi ke skuad Gli Azzurri mendapat
banyak kritik. Soalnya, mantan pemain Juventus dan Milan itu tak pernah
bermain selama dua tahun.
Namun, masih di bawah atmosfer skandal
Totonero, timnas Italia justru tampil impresif di Piala Dunia 1982. Tim
Itala mengalahkan Jerman Barat 3-1 di final. Rossi pun menjadi bintang
kemenangan Italia, dengan merebut gelar pemain terbaik dan top scorer (6 gol).
Totonero II ke Calciopoli
Empat
tahun setelah sukses di Piala Dunia 1982, Italia kembali diguncang
skandal pengaturan skor atau Totonero II. Skandal jilid kedua ini lebih
meluas, hingga ke pertandingan Serie C1 dan Serie C2. Sekitar 34 pemain,
sejumlah manajer, presiden klub dan pelatih juga mendapat sanksi.
Sayang,
pada Piala Dunia 1986, Italia gagal mempertahankan gelar setelah kalah
0-2 dari Prancis di babak 16 besar. Magis Totonero pertama di Piala
Dunia 1982 tidak terulang.
Tapi, deja vu. Sepakbola
Italia kembali digerus skandal pengaturan skor, menjelang Piala Dunia
2006 di Jerman berlangsung. Calciopoli melibatkan tim papan atas Italia
seperti Juventus, Milan, Lazio dan Fioretina. Berbeda dari Totonero,
Calciopoli menentukan wasit di suatu pertandingan.
Skandal ini
terbongkar setelah Kepolisian Italia memeriksa manajemen agen sepakbola,
GEA World. Dalam hasil transkrip rekaman telepon, terungkap adanya
komunikasi intensif para pimpinan klub dengan badan wasit Italia guna
menunjuk wasit yang bisa menguntungkan klub mereka pada musim 2004/2005.
Juventus,
dengan Direktur Umum Luciano Moggi, menjadi tim paling terluka setelah
menerima hukuman degradasi ke Serie B. Scudetto Juventus musim 2005/2006
dicopot, sedangkan Scudetto musim sebelumnya diberikan ke peringkat
tiga, Inter Milan, setelah peringkat kedua Milan juga tersandung skandal
Calciopoli.
Calciopoli mengganggu persiapan timnas Italia jelang
menghadapi Piala Dunia 2006. Setidaknya ada lima pemain I Bianconeri
yang masuk skuad Marcello Lippi, dengan Fabio Cannavaro, Gianluigi
Buffon, Mauro Camoranesi dan Gianluigi Zambrotta sebagai pemain inti.
Tapi,
sama seperti Piala Dunia 1982, skandal pengaturan skor ternyata melecut
motivasi timnas Italia di Piala Dunia 2006. Italia juara dunia untuk
kali keempat, dengan Cannavaro menjadi pemain terbaik turnamen.
Cannavaro juga menjadi Pemain Terbaik Dunia 2006.
Scommessopoli
Calciopoli
sempat diyakini akan menjadi skandal pengaturan skor terakhir di
sepakbola Italia. Pasalnya, FIGC sempat melakukan kampanye besar-besaran
untuk mencegahnya skandal serupa. Tapi, kondisi itu hanya bertahan enam
tahun.
Pada 2012, ada model baru skandal pengaturan skor di
Italia. Kali ini skandalnya bernama Scommessopoli. Modusnya sama,
menggunakan pemain sebagai subjek pengatur skor. Pelakunya adalah
sekelompok mantan bintang Serie A, seperti Giuseppe Signori, Mauro
Bressan, Stefano Bettarini dan Cristiano Doni.
Kelompok ini
mengatur sejumlah pertandingan di Serie B, Lega Pro Prima Divisione dan
Lega Pro Seconda Divisione. Penyelidikan di Italia meluas setelah
penangkapan bandar judi ilegal asal Singapura, Tan Seet Eng, akhir 2011
lalu.
Mencuatnya kasus Scommessopoli sempat mengganggu jalannya training camp
timnas Italia jelang Piala Eropa 2012. Bahkan bek Domenico Criscito
ditangkap di TC timnas Italia di Coverciano oleh polisi. Alhasil, bek
yang dituduh terlibat pengaturan skor ketika masih memperkuat Genoa itu
tidak dibawa pelatih Cesare Prandelli ke Piala Eropa 2012.
Sedangkan
bek Juventus, Leonardo Bonucci, tetap dibawa Prandelli ke
Ukraina-Polandia meski diduga juga terlibat ketika masih memperkuat
Bari. Bonucci dan Criscito akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Sedangkan
pelatih Juventus, Antonio Conte, harus menjalani hukuman selama empat
bulan karena mengetahui adanya pengaturan skor saat melatih Siena.
Skandal
pengaturan skor Scommessopoli membuat timnas Italia terganggu. Bahkan
banyak pihak menginginkan Gianluigi Buffon dan kawan-kawan mundur dari
Piala Eropa 2012 demi nama baik sepakbola Italia.
Perdana Menteri
Italia, Mario Monti, bereaksi keras atas skandal teranyar ini. Monti
punya solusi yang menurutnya bisa menghentikan skandal pengaturan skor
di Italia, yakni menghentikan liga beberapa tahun. Pernyataan yang
mendapat respon negatif dari Presiden FIGC, Giancarlo Abate.
Keputusan
Italia untuk tetap bermain di Piala Eropa 2012 rupanya membuahkan hasil
positif. Mario Balotelli dan kawan-kawan berhasil melangkah ke babak
final dengan bertemu Spanyol. Sayang, kisah sukses mereka di Piala Dunia
1982 dan Piala Dunia 2006 tidak terulang. Italia kalah 0-4 di final.
Kasus Marseille
Pada
1993, kasus nyaris serupa Italia menimpa klub asal Prancis, Olympique
Marseille. Klub bermarkas di Stade Velodrome itu tersandung pengaturan
skor yang melibatkan sang presiden klub, Bernard Tapie.
Tapie
diduga mengatur hasil pertandingan Marseille melawan Valenciennes pada
lanjutan Ligue 1 musim 1992/1993. Hal itu dilakukan Tapie untuk memberi
kesempatan pemain terbaik Marseille waktu istirahat lebih banyak.
Ketika
itu pemain Marseille, Jean-Jacques Eydelie, menghubungi tiga pemain
Valenciennes, Jacques Glassmann, Jorge Burruchaga, dan Christophe
Robert. Lalu Eydelie memerintahkan ketiga pemain Valenciennes itu
membiarkan Marseille menang, dan tidak mencederai pemain Marseille
jelang final Liga Champions melawan Milan di Munich, Jerman, 26 Mei
1993.
Marseille meraih gelar juara Liga Champions musim itu
setelah menang 1-0 lewat gol Basile Boli. Euforia melanda Marseille,
karena menjadi tim asal Prancis pertama yang mampu merebut gelar Liga
Champions. Hingga kini rekor itu masih bertahan.
Bak terjatuh
dari langit, euforia Marseille berakhir setelah tindakan Tapie menyuap
pemain Valenciennes terungkap. Marseille lalu kehilangan gelar Ligue 1,
dan hak tampil di Liga Champions 1993/1994, Piala Super Eropa 1993 dan
Piala Interkontinental 1993. Beruntung Marseille tetap berhak menyandang
juara Liga Champions 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar