Senin, 13 Mei 2013

BAGIAN 2: TERSANDUNG "TOTONERO" TETAP JUARA

Di Italia, mereka menyebutnya Totonero. Itu praktik pengaturan skor sepak bola yang pernah mengguncangkan Italia.

Tapi di Italia, skandal pengaturan skor rupanya tak selalu punya pengaruh buruk. Itu dibuktikan timnas Italia. Empat kali tersandung skandal itu, Gli Azzurri mampu bangkit meraih dua gelar Piala Dunia, dan menjadi finalis Piala Eropa.

Ingat Paolo Rossi, top scorer saat timnas Italia merebut Piala Dunia 1982. Rossi  mencetak enam gol. Padahal selama dua tahun sebelumnya, dia tak pernah bermain karena tersandung Totonero. Bahkan klub seperti AC Milan juga pernah terjengkang oleh Totonero. Klub itu dihukum turun ke Serie B.

Skandal Totonero ini melibatkan pertandingan di Serie A dan Serie B. Klub-klub yang terlibat adalah Milan, Lazio, Perugia, Bologna, Avellino, Taranto dan Palermo. Milan dan Lazio diturunkan ke Serie A, sedangkan Presiden Milan saat itu, Felice Colombo, dihukum tidak boleh berkecimpung di sepakbola Italia seumur hidup.

Tokoh utamanya adalah dua pebisnis asal Roma, Massimo Cruciani dan Alvaro Trinca. Keduanya melihat ada celah mendapatkan uang dari pertandingan sepakbola. Dengan mengenal banyak pemain dari skuad Lazio pada waktu itu, Cruciani dan Trinca lalu menyuap mereka untuk menentukan hasil akhir pertandingan.

Ada 20 pemain dihukum Federasi Sepakbola Italia (FIGC) saat itu. Tapi Paolo Rossi paling disorot media. Setelah dipinjamkan Vicenza ke Perugia, Rossi dianggap terlibat skandal pengaturan skor di Perugia. Meski menyatakan dirinya tidak bersalah, Rossi dijatuhi hukuman tiga tahun, yang lalu dipotong menjadi dua tahun.

Masa hukuman Rossi berakhir tepat sebelum bergulirnya Piala Dunia 1982 di Spanyol. Keputusan pelatih Enzo Bearzot memasukkan Rossi ke skuad Gli Azzurri mendapat banyak kritik. Soalnya, mantan pemain Juventus dan Milan itu tak pernah bermain selama dua tahun.

Namun, masih di bawah atmosfer skandal Totonero, timnas Italia justru tampil impresif di Piala Dunia 1982. Tim Itala mengalahkan Jerman Barat 3-1 di final. Rossi pun menjadi bintang kemenangan Italia, dengan merebut gelar pemain terbaik dan top scorer (6 gol).

Totonero II ke Calciopoli

Empat tahun setelah sukses di Piala Dunia 1982, Italia kembali diguncang skandal pengaturan skor atau Totonero II. Skandal jilid kedua ini lebih meluas, hingga ke pertandingan Serie C1 dan Serie C2. Sekitar 34 pemain, sejumlah manajer, presiden klub dan pelatih juga mendapat sanksi.

Sayang, pada Piala Dunia 1986, Italia gagal mempertahankan gelar setelah kalah 0-2 dari Prancis di babak 16 besar. Magis Totonero pertama di Piala Dunia 1982 tidak terulang.

Tapi, deja vu. Sepakbola Italia kembali digerus skandal pengaturan skor, menjelang Piala Dunia 2006 di Jerman berlangsung. Calciopoli melibatkan tim papan atas Italia seperti Juventus, Milan, Lazio dan Fioretina. Berbeda dari Totonero, Calciopoli menentukan wasit di suatu pertandingan.

Skandal ini terbongkar setelah Kepolisian Italia memeriksa manajemen agen sepakbola, GEA World. Dalam hasil transkrip rekaman telepon, terungkap adanya komunikasi intensif para pimpinan klub dengan badan wasit Italia guna menunjuk wasit yang bisa menguntungkan klub mereka pada musim 2004/2005.

Juventus, dengan Direktur Umum Luciano Moggi, menjadi tim paling terluka setelah menerima hukuman degradasi ke Serie B. Scudetto Juventus musim 2005/2006 dicopot, sedangkan Scudetto musim sebelumnya diberikan ke peringkat tiga, Inter Milan, setelah peringkat kedua Milan juga tersandung skandal Calciopoli.

Calciopoli mengganggu persiapan timnas Italia jelang menghadapi Piala Dunia 2006. Setidaknya ada lima pemain I Bianconeri yang masuk skuad Marcello Lippi, dengan Fabio Cannavaro, Gianluigi Buffon, Mauro Camoranesi dan Gianluigi Zambrotta sebagai pemain inti.

Tapi, sama seperti Piala Dunia 1982, skandal pengaturan skor ternyata melecut motivasi timnas Italia di Piala Dunia 2006. Italia juara dunia untuk kali keempat, dengan Cannavaro menjadi pemain terbaik turnamen. Cannavaro juga menjadi Pemain Terbaik Dunia 2006.

Scommessopoli

Calciopoli sempat diyakini akan menjadi skandal pengaturan skor terakhir di sepakbola Italia. Pasalnya, FIGC sempat melakukan kampanye besar-besaran untuk mencegahnya skandal serupa. Tapi, kondisi itu hanya bertahan enam tahun.

Pada 2012, ada model baru skandal pengaturan skor di Italia. Kali ini skandalnya bernama Scommessopoli. Modusnya sama, menggunakan pemain sebagai subjek pengatur skor. Pelakunya adalah sekelompok mantan bintang Serie A, seperti Giuseppe Signori, Mauro Bressan, Stefano Bettarini dan Cristiano Doni.

Kelompok ini mengatur sejumlah pertandingan di Serie B, Lega Pro Prima Divisione dan Lega Pro Seconda Divisione. Penyelidikan di Italia meluas setelah penangkapan bandar judi ilegal asal Singapura, Tan Seet Eng, akhir 2011 lalu.

Mencuatnya kasus Scommessopoli sempat mengganggu jalannya training camp timnas Italia jelang Piala Eropa 2012. Bahkan bek Domenico Criscito ditangkap di TC timnas Italia di Coverciano oleh polisi. Alhasil, bek yang dituduh terlibat pengaturan skor ketika masih memperkuat Genoa itu tidak dibawa pelatih Cesare Prandelli ke Piala Eropa 2012.

Sedangkan bek Juventus, Leonardo Bonucci, tetap dibawa Prandelli ke Ukraina-Polandia meski diduga juga terlibat ketika masih memperkuat Bari. Bonucci dan Criscito akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Sedangkan pelatih Juventus, Antonio Conte, harus menjalani hukuman selama empat bulan karena mengetahui adanya pengaturan skor saat melatih Siena.

Skandal pengaturan skor Scommessopoli membuat timnas Italia terganggu. Bahkan banyak pihak menginginkan Gianluigi Buffon dan kawan-kawan mundur dari Piala Eropa 2012 demi nama baik sepakbola Italia.

Perdana Menteri Italia, Mario Monti, bereaksi keras atas skandal teranyar ini. Monti punya solusi yang menurutnya bisa menghentikan skandal pengaturan skor di Italia, yakni menghentikan liga beberapa tahun. Pernyataan yang mendapat respon negatif dari Presiden FIGC, Giancarlo Abate.

Keputusan Italia untuk tetap bermain di Piala Eropa 2012 rupanya membuahkan hasil positif. Mario Balotelli dan kawan-kawan berhasil melangkah ke babak final dengan bertemu Spanyol. Sayang, kisah sukses mereka di Piala Dunia 1982 dan Piala Dunia 2006 tidak terulang. Italia kalah 0-4 di final.

Kasus Marseille

Pada 1993, kasus nyaris serupa Italia menimpa klub asal Prancis, Olympique Marseille. Klub bermarkas di Stade Velodrome itu tersandung pengaturan skor yang melibatkan sang presiden klub, Bernard Tapie.

Tapie diduga mengatur hasil pertandingan Marseille melawan Valenciennes pada lanjutan Ligue 1 musim 1992/1993. Hal itu dilakukan Tapie untuk memberi kesempatan pemain terbaik Marseille waktu istirahat lebih banyak.

Ketika itu pemain Marseille, Jean-Jacques Eydelie, menghubungi tiga pemain Valenciennes, Jacques Glassmann, Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert. Lalu Eydelie memerintahkan ketiga pemain Valenciennes itu membiarkan Marseille menang, dan tidak mencederai pemain Marseille jelang final Liga Champions melawan Milan di Munich, Jerman, 26 Mei 1993.

Marseille meraih gelar juara Liga Champions musim itu setelah menang 1-0 lewat gol Basile Boli. Euforia melanda Marseille, karena menjadi tim asal Prancis pertama yang mampu merebut gelar Liga Champions. Hingga kini rekor itu masih bertahan.

Bak terjatuh dari langit, euforia Marseille berakhir setelah tindakan Tapie menyuap pemain Valenciennes terungkap. Marseille lalu kehilangan gelar Ligue 1, dan hak tampil di Liga Champions 1993/1994, Piala Super Eropa 1993 dan Piala Interkontinental 1993. Beruntung Marseille tetap berhak menyandang juara Liga Champions 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar