Telepon itu berbunyi menjelang laga penting pada 23 Mei, dua tahun
silam. Seseorang berbicara dengan aksen Inggris gaya Singapura. “Saya
butuh setidaknya tiga gol,” ujar lelaki itu. Dia dikenal sebagai Tan
Seet Eng. Kadang dipanggil Mr Tan. Lain waktu, oleh sejawatnya, dia
disapa bos, atau capo.
Pada akhir Mei itu, sepakbola Italia sedang bertarung seru. Saat Tan
menelepon, di Serie B Italia akan bertarung Grosseto melawan Reggina.
Di ujung telepon, terdengar suara dengan Inggris beraksen Kroasia. “Tak masalah,” ujar lelaki itu.
Pada laga di Stadion Olimpico Carlo Zecchini, Grosseto, pesanan Mr
Tan terpenuhi. Skor imbang 2-2. Reggina ditahan telak di kandang
Grosseto. Begitulah “kesaktian” Tan, lelaki yang belakangan diduga
turut mengendalikan banyak pertandingan di dunia, tak hanya di Italia.
Sedikit yang diketahui dari sosok Tan Seet Eng. Para penegak hukum di
Italia hanya punya foto Tan sewaktu dia belia. Dia disebut juga Dan
Tan. “Saya tidak dapat mengatakan kepada Anda secara personal sosok Tan,
dan bagaimana dia berbicara. Tan masih tanda tanya,” kata salah satu
jaksa, Roberto Di Martino.
Tan sungguh bekerja dalam gelap. Jaksa Martino bahkan tak punya
gambaran ke mana gerangan Mr Tan membawa semua uangnya, dan apa yang
dilakukan dalam kehidupannya. “Dari gambar yang kami punya, dia terlihat
seperti anak berumur 15 tahun,” ujar Martino.
Informasi tentang Tan begitu sedikit. Itu sebabnya, meskipun dia jadi
buron polisi sejak November 2011, tempat Tan bersembunyi belum
terungkap. Data yang hanya secuil itu lalu membuat para agen intelijen
polisi Uni Eropa, Europol, bergerak.
Para agen polisi itu lalu menelisik jejak kerja Tan selama 19 bulan.
Hasilnya mengagetkan. Sebanyak 680 laga mulai dari Asia, Eropa hingga
Amerika Latin, kata Europol, telah diatur sindikat berbasis di Singapura
ini.
Melihat jejaring itu para pecandu bola mungkin akan sesak napas.
Europol melacak, dan sindikat ini rupanya telah begitu serius masuk ke
struktur pertandingan. "Ada 425 petugas pertandingan, ofisial klub,
pemain dan penjahat kakap dari lebih 15 negara terlibat dalam mengatur
skor sepakbola profesional," kata Direktur Interpol, Rob Wainwright
dalam keterangannya.
Mereka, kata Wainwright, membentuk operasi kejahatan terorganisir
yang canggih. Laba yang diraup mencapai lebih 8 juta euro dari judi
bola. “Lebih dari 2 juta euro untuk membayar mereka yang terlibat dalam
pertandingan," ujar Wainwright.
Tentu, klaim Europol itu menjadi tamparan keras bagi federasi
sepakbola dunia (FIFA). Lembaga itu begitu getol berkampanye untuk fair play di setiap pertandingan. Tapi, untuk kesekian kali, gurita mafia judi sukses menyusupi olahraga paling populer sejagad ini.
Sejumlah laga berbau curang pun mulai terungkap. Tak hanya partai
gurem, skandal pengaturan skor juga sukses menyusup di partai besar,
termasuk laga Champions League, dan penyisihan Piala Dunia. Puluhan
orang telah diciduk, dan dijatuhi hukuman.
Seret Liverpool dan MU?
Yang mengagetkan, dua klub elit Eropa, Liverpool dan Manchester United, pernah terseret skandal menghebohkan ini. Untung, status dua klub papan atas Premier League itu masih sebatas "korban". Laga Liverpool
kontra Debrecen pada 2009 diduga telah disusupi kecurangan. Kiper
Debrecen, Vukasin Poleksic menjadi tertuduh. Poleksic akhirnya
mendapatkan hukuman dua tahun dari Federasi Sepakbola Eropa (UEFA).
Meski agak usang, terjadi lebih satu dekade lalu, kasus skor curang seperti itu diduga pernah terjadi di laga Manchester United
melawan Zalaegerszeg, yang bertemu di babak kualifikasi Champions
League 2002/2003. "Keterlibatan" MU ini diungkapkan salah satu mantan
gangster Serbia, Karesz kepada The Sun. Kata Karesz, sejumlah bos gangster di Eropa ingin melihat Zalaegerszeg kalah. Setidaknya tiga gol di leg kedua.
Kenyataannya begitulah. Zalaegerszeg, yang menang 1-0 pada leg
pertama di Hongaria, tertinggal tiga gol. Padahal pertandingan di Old
Trafford baru berlangsung 20 menit. Zalaegerszeg akhirnya kalah 0-5,
setelah kiper Sasa Ilic mendapat kartu merah.
Begini pengakuan Karesz, yang menyebutnya dirinya sebagai
“perantara”. Dia bernegosiasi dengan bos gangster asal Kroasia, sepekan
sebelum pertandingan 27 Agustus 2002 itu. "Saya mengatur pertemuan di
sebuah kafe di Zalaegerszeg. Taruhan besar dilakukan agar ZTE kalah
minimal tiga gol," kata Karesz dilansir The Sun. Negosiasi itu diduga bernilai jutaan poundsterling.
Menurut Karesz, ada belasan gangster yang bertemu setiap bulannya di
Budapest, Hongaria. Mereka mengatur skor. Tapi, Karesz tampaknya sudah
bertobat. Dia lalu menjadi whistle-blower, setelah dia berseteru dengan para gangster itu.
Cara kerja sindikat
Pengakuan terbaru datang dari seorang mantan pemain. Dia adalah Mario
Cizmek, mantan gelandang NK Zagreb. Tugasnya, juru bayar dalam skandal
pengaturan skor.
Dalam persidangan yang dilansir The New York Times, Cizmek
mengaku terlibat dalam sindikat pengaturan skor. Dia membeberkan
mekanisme kerja di lapangan selama "meracuni" sportifitas di Divisi
Pertama Kroasia. Itu terjadi pada 2010, menjelang akhir kariernya
sebagai pemain.
Menurut Cizmek, target utama untuk disogok adalah kiper. "Anda tidak
dapat melakukan itu tanpa seorang penjaga gawang," kata Cizmek. Lebih
lanjut Cizmek mengatakan, jika sang kiper menolak tawaran, maka ia
mengembalikan uangnya kepada “Bos Besar”, dan membatalkan kesepakatan.
Namun, Cizmek juga tak membantah jika pemain lain yang berposisi
sebagai bek dan gelandang juga rentan disogok. Tapi kiper tetap menjadi
target utama, meski harus mengeluarkan uang lebih banyak. Masih menurut
Cizmek, uang sogokan untuk kiper dua kali lebih besar, karena hasil akan
mempengaruhi statistik sang kiper.
Setelah kiper, posisi kedua paling diincar adalah bek, baru pemain
dengan posisi gelandang. Sedangkan striker, jarang dilibatkan. Para
gangster penyuap itu pun tak tanggung-tanggung. Terkadang, dari 11
pemain yang tampil di lapangan, enam diantaranya telah dibuat “masuk
angin”.
Sebelum menyogok, para mafia pengaturan skor juga memilih-milih
"rekanan". Biasanya mereka akan menyasar pemain belia. Alasannya, anak
muda mudah tergiur. Atau pemain hampir pensiun, yang kerap ingin mencari
"uang pensiun".
Tapi, kerja paling mudah tentu saat menemukan pemain yang lagi
dirundung soal keuangan. Tak hanya pemain, para mafia pengaturan skor
kalau perlu menyogok pelatih, atau perangkat pertandingan. Selain itu,
Cizmek juga menyebutkan, tim yang telah pasti terdegradasi, sangat mudah
disusupi.
Cizmek, lelaki 37 tahun yang ditangkap di depan kedua putrinya pada
2012 silam itu kini tampak menyesal. "Karier yang saya bangun
bertahun-tahun rusak, hanya dalam waktu satu bulan," kata Cizmek.(np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar