Senin, 13 Mei 2013

SUPPORT YOUR LOCAL TEAM

TERLALU MENGAGUNGKAN TIM LAYAR KACA ADALAH SEBUAH DOSA BESAR !!!!

Sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara untuk mendukung semua elemen yang ada di negeri sendiri, termasuk tim lokal. Megapa harus seperti itu dalam mengagungkan tim layar kaca ? Sedangkan anda sendiri tidak pernah menontonnya langsung saat laga home apalagi away

Dan mengapa banyak fans tim, layar kaca memberikan dukungannya hanya lewat dunia maya ? Karena, hanya lewat dunia maya mereka menganggap dukungan mereka sampai. Dukungan itu diberikan dengan berdiri dan bernyanyi 90 menit dari tribun, bukan dengan duduk manis di depan layar kaca. Para pemain yang berlaga itu hanya ingin didukung bukan ditonton

Apakah saat tim layar kaca yang anda dukung dari depan TV itu menang, lalu para pemain berjalan ke arah kamera untuk memberi penghormatan kepada kalian atau mereka akan melemparkan jersey ke arah kalian ? Persetan dengan tim layar kaca yang anda dukung menjadi juara ata menang besar....WHO CARES ???

Misal kalau tim yang anda dukung menjadi juara, mungkin hanya anda sendiri yang akan bebahagia. Begitu juga saat tim kesayangan anda kalah dalam partai final, mungkin anda sendiri yang akan sedih. Dengan mendukung tim lokal anda bisa berbagi kebahagiaan dan kesedihan dengan rekan-rekanmu.

INGAT !!!! Tim lokal didirikan buakn untuk diabaikan, tapi untuk didukung kesistensinya dan setiap pergerakannya. Tak peduli minim prestasi, tak ada kata "lelah" untuk sebuah dukungan dan kata "gagal" untuk sebuah kejayaan. Percuma hidup di daerah yang oenuh fanatisme terhadap tim lokal, tapi kontribusi anda terhadap tim lokal NOL BESAR

Yang wajib dilakukan adalah STAND UP IN YOUR TRIBUNE AND YELLING IT LOUDER, NOT SIT DOWN AND WATCH AT THE TELEVISION !!!

SUPPORT YOUR LOCAL TEAM
FUCK TV, GO TO STADIUM

BAGIAN 2: TERSANDUNG "TOTONERO" TETAP JUARA

Di Italia, mereka menyebutnya Totonero. Itu praktik pengaturan skor sepak bola yang pernah mengguncangkan Italia.

Tapi di Italia, skandal pengaturan skor rupanya tak selalu punya pengaruh buruk. Itu dibuktikan timnas Italia. Empat kali tersandung skandal itu, Gli Azzurri mampu bangkit meraih dua gelar Piala Dunia, dan menjadi finalis Piala Eropa.

Ingat Paolo Rossi, top scorer saat timnas Italia merebut Piala Dunia 1982. Rossi  mencetak enam gol. Padahal selama dua tahun sebelumnya, dia tak pernah bermain karena tersandung Totonero. Bahkan klub seperti AC Milan juga pernah terjengkang oleh Totonero. Klub itu dihukum turun ke Serie B.

Skandal Totonero ini melibatkan pertandingan di Serie A dan Serie B. Klub-klub yang terlibat adalah Milan, Lazio, Perugia, Bologna, Avellino, Taranto dan Palermo. Milan dan Lazio diturunkan ke Serie A, sedangkan Presiden Milan saat itu, Felice Colombo, dihukum tidak boleh berkecimpung di sepakbola Italia seumur hidup.

Tokoh utamanya adalah dua pebisnis asal Roma, Massimo Cruciani dan Alvaro Trinca. Keduanya melihat ada celah mendapatkan uang dari pertandingan sepakbola. Dengan mengenal banyak pemain dari skuad Lazio pada waktu itu, Cruciani dan Trinca lalu menyuap mereka untuk menentukan hasil akhir pertandingan.

Ada 20 pemain dihukum Federasi Sepakbola Italia (FIGC) saat itu. Tapi Paolo Rossi paling disorot media. Setelah dipinjamkan Vicenza ke Perugia, Rossi dianggap terlibat skandal pengaturan skor di Perugia. Meski menyatakan dirinya tidak bersalah, Rossi dijatuhi hukuman tiga tahun, yang lalu dipotong menjadi dua tahun.

Masa hukuman Rossi berakhir tepat sebelum bergulirnya Piala Dunia 1982 di Spanyol. Keputusan pelatih Enzo Bearzot memasukkan Rossi ke skuad Gli Azzurri mendapat banyak kritik. Soalnya, mantan pemain Juventus dan Milan itu tak pernah bermain selama dua tahun.

Namun, masih di bawah atmosfer skandal Totonero, timnas Italia justru tampil impresif di Piala Dunia 1982. Tim Itala mengalahkan Jerman Barat 3-1 di final. Rossi pun menjadi bintang kemenangan Italia, dengan merebut gelar pemain terbaik dan top scorer (6 gol).

Totonero II ke Calciopoli

Empat tahun setelah sukses di Piala Dunia 1982, Italia kembali diguncang skandal pengaturan skor atau Totonero II. Skandal jilid kedua ini lebih meluas, hingga ke pertandingan Serie C1 dan Serie C2. Sekitar 34 pemain, sejumlah manajer, presiden klub dan pelatih juga mendapat sanksi.

Sayang, pada Piala Dunia 1986, Italia gagal mempertahankan gelar setelah kalah 0-2 dari Prancis di babak 16 besar. Magis Totonero pertama di Piala Dunia 1982 tidak terulang.

Tapi, deja vu. Sepakbola Italia kembali digerus skandal pengaturan skor, menjelang Piala Dunia 2006 di Jerman berlangsung. Calciopoli melibatkan tim papan atas Italia seperti Juventus, Milan, Lazio dan Fioretina. Berbeda dari Totonero, Calciopoli menentukan wasit di suatu pertandingan.

Skandal ini terbongkar setelah Kepolisian Italia memeriksa manajemen agen sepakbola, GEA World. Dalam hasil transkrip rekaman telepon, terungkap adanya komunikasi intensif para pimpinan klub dengan badan wasit Italia guna menunjuk wasit yang bisa menguntungkan klub mereka pada musim 2004/2005.

Juventus, dengan Direktur Umum Luciano Moggi, menjadi tim paling terluka setelah menerima hukuman degradasi ke Serie B. Scudetto Juventus musim 2005/2006 dicopot, sedangkan Scudetto musim sebelumnya diberikan ke peringkat tiga, Inter Milan, setelah peringkat kedua Milan juga tersandung skandal Calciopoli.

Calciopoli mengganggu persiapan timnas Italia jelang menghadapi Piala Dunia 2006. Setidaknya ada lima pemain I Bianconeri yang masuk skuad Marcello Lippi, dengan Fabio Cannavaro, Gianluigi Buffon, Mauro Camoranesi dan Gianluigi Zambrotta sebagai pemain inti.

Tapi, sama seperti Piala Dunia 1982, skandal pengaturan skor ternyata melecut motivasi timnas Italia di Piala Dunia 2006. Italia juara dunia untuk kali keempat, dengan Cannavaro menjadi pemain terbaik turnamen. Cannavaro juga menjadi Pemain Terbaik Dunia 2006.

Scommessopoli

Calciopoli sempat diyakini akan menjadi skandal pengaturan skor terakhir di sepakbola Italia. Pasalnya, FIGC sempat melakukan kampanye besar-besaran untuk mencegahnya skandal serupa. Tapi, kondisi itu hanya bertahan enam tahun.

Pada 2012, ada model baru skandal pengaturan skor di Italia. Kali ini skandalnya bernama Scommessopoli. Modusnya sama, menggunakan pemain sebagai subjek pengatur skor. Pelakunya adalah sekelompok mantan bintang Serie A, seperti Giuseppe Signori, Mauro Bressan, Stefano Bettarini dan Cristiano Doni.

Kelompok ini mengatur sejumlah pertandingan di Serie B, Lega Pro Prima Divisione dan Lega Pro Seconda Divisione. Penyelidikan di Italia meluas setelah penangkapan bandar judi ilegal asal Singapura, Tan Seet Eng, akhir 2011 lalu.

Mencuatnya kasus Scommessopoli sempat mengganggu jalannya training camp timnas Italia jelang Piala Eropa 2012. Bahkan bek Domenico Criscito ditangkap di TC timnas Italia di Coverciano oleh polisi. Alhasil, bek yang dituduh terlibat pengaturan skor ketika masih memperkuat Genoa itu tidak dibawa pelatih Cesare Prandelli ke Piala Eropa 2012.

Sedangkan bek Juventus, Leonardo Bonucci, tetap dibawa Prandelli ke Ukraina-Polandia meski diduga juga terlibat ketika masih memperkuat Bari. Bonucci dan Criscito akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Sedangkan pelatih Juventus, Antonio Conte, harus menjalani hukuman selama empat bulan karena mengetahui adanya pengaturan skor saat melatih Siena.

Skandal pengaturan skor Scommessopoli membuat timnas Italia terganggu. Bahkan banyak pihak menginginkan Gianluigi Buffon dan kawan-kawan mundur dari Piala Eropa 2012 demi nama baik sepakbola Italia.

Perdana Menteri Italia, Mario Monti, bereaksi keras atas skandal teranyar ini. Monti punya solusi yang menurutnya bisa menghentikan skandal pengaturan skor di Italia, yakni menghentikan liga beberapa tahun. Pernyataan yang mendapat respon negatif dari Presiden FIGC, Giancarlo Abate.

Keputusan Italia untuk tetap bermain di Piala Eropa 2012 rupanya membuahkan hasil positif. Mario Balotelli dan kawan-kawan berhasil melangkah ke babak final dengan bertemu Spanyol. Sayang, kisah sukses mereka di Piala Dunia 1982 dan Piala Dunia 2006 tidak terulang. Italia kalah 0-4 di final.

Kasus Marseille

Pada 1993, kasus nyaris serupa Italia menimpa klub asal Prancis, Olympique Marseille. Klub bermarkas di Stade Velodrome itu tersandung pengaturan skor yang melibatkan sang presiden klub, Bernard Tapie.

Tapie diduga mengatur hasil pertandingan Marseille melawan Valenciennes pada lanjutan Ligue 1 musim 1992/1993. Hal itu dilakukan Tapie untuk memberi kesempatan pemain terbaik Marseille waktu istirahat lebih banyak.

Ketika itu pemain Marseille, Jean-Jacques Eydelie, menghubungi tiga pemain Valenciennes, Jacques Glassmann, Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert. Lalu Eydelie memerintahkan ketiga pemain Valenciennes itu membiarkan Marseille menang, dan tidak mencederai pemain Marseille jelang final Liga Champions melawan Milan di Munich, Jerman, 26 Mei 1993.

Marseille meraih gelar juara Liga Champions musim itu setelah menang 1-0 lewat gol Basile Boli. Euforia melanda Marseille, karena menjadi tim asal Prancis pertama yang mampu merebut gelar Liga Champions. Hingga kini rekor itu masih bertahan.

Bak terjatuh dari langit, euforia Marseille berakhir setelah tindakan Tapie menyuap pemain Valenciennes terungkap. Marseille lalu kehilangan gelar Ligue 1, dan hak tampil di Liga Champions 1993/1994, Piala Super Eropa 1993 dan Piala Interkontinental 1993. Beruntung Marseille tetap berhak menyandang juara Liga Champions 1993.

BAGIAN 1 : MAFIA DUNIA PENGATUR SEPAKBOLA

Telepon itu berbunyi menjelang laga penting pada 23 Mei, dua tahun silam. Seseorang berbicara dengan aksen Inggris gaya Singapura. “Saya butuh setidaknya tiga gol,” ujar lelaki itu. Dia dikenal sebagai Tan Seet Eng. Kadang dipanggil Mr Tan.  Lain waktu, oleh sejawatnya, dia disapa bos, atau capo.
Pada akhir Mei itu, sepakbola Italia sedang bertarung seru. Saat Tan menelepon, di Serie B Italia akan bertarung Grosseto melawan Reggina.
Di ujung telepon, terdengar suara dengan Inggris beraksen Kroasia. “Tak masalah,” ujar lelaki itu.
Pada laga di Stadion Olimpico Carlo Zecchini, Grosseto, pesanan Mr Tan terpenuhi. Skor imbang 2-2. Reggina ditahan telak di kandang Grosseto. Begitulah “kesaktian” Tan,  lelaki yang belakangan diduga turut mengendalikan banyak pertandingan di dunia, tak hanya di Italia.
Sedikit yang diketahui dari sosok Tan Seet Eng. Para penegak hukum di Italia hanya punya foto Tan sewaktu dia belia. Dia disebut juga Dan Tan. “Saya tidak dapat mengatakan kepada Anda secara personal sosok Tan, dan bagaimana dia berbicara. Tan masih tanda tanya,” kata salah satu jaksa, Roberto Di Martino.
Tan sungguh bekerja dalam gelap.  Jaksa Martino bahkan tak punya gambaran ke mana gerangan Mr Tan membawa semua uangnya, dan apa yang dilakukan dalam kehidupannya. “Dari gambar yang kami punya, dia terlihat seperti anak berumur 15 tahun,” ujar Martino.
Informasi tentang Tan begitu sedikit. Itu sebabnya, meskipun dia jadi buron polisi sejak November 2011, tempat Tan bersembunyi belum terungkap. Data yang hanya secuil itu lalu membuat para agen intelijen polisi Uni Eropa, Europol, bergerak.
Para agen polisi itu lalu menelisik jejak kerja Tan selama 19 bulan. Hasilnya mengagetkan. Sebanyak 680 laga mulai dari Asia, Eropa hingga Amerika Latin, kata Europol, telah diatur sindikat berbasis di Singapura ini.
Melihat jejaring itu para pecandu bola mungkin akan sesak napas. Europol melacak, dan sindikat ini rupanya telah begitu serius masuk ke struktur pertandingan. "Ada 425 petugas pertandingan, ofisial klub, pemain dan penjahat kakap dari lebih 15 negara terlibat dalam mengatur skor sepakbola profesional," kata Direktur Interpol, Rob Wainwright dalam keterangannya.
Mereka, kata Wainwright, membentuk operasi kejahatan terorganisir yang canggih. Laba yang diraup mencapai lebih 8 juta euro dari  judi bola. “Lebih dari 2 juta euro untuk membayar mereka yang terlibat dalam pertandingan," ujar Wainwright.
Tentu, klaim Europol itu menjadi tamparan keras bagi federasi sepakbola dunia (FIFA). Lembaga itu begitu getol berkampanye untuk fair play di setiap pertandingan. Tapi, untuk kesekian kali, gurita mafia judi sukses menyusupi olahraga paling populer sejagad ini.
Sejumlah laga berbau curang pun mulai terungkap. Tak hanya partai gurem, skandal pengaturan skor juga sukses menyusup di partai besar, termasuk laga Champions League, dan penyisihan Piala Dunia. Puluhan orang telah diciduk, dan dijatuhi hukuman.
Seret Liverpool dan MU?
Yang mengagetkan, dua klub elit Eropa, Liverpool dan Manchester United, pernah terseret skandal menghebohkan ini. Untung, status dua klub papan atas Premier League itu masih sebatas "korban". Laga Liverpool kontra Debrecen pada 2009 diduga telah disusupi kecurangan. Kiper Debrecen, Vukasin Poleksic menjadi tertuduh. Poleksic akhirnya mendapatkan hukuman dua tahun dari Federasi Sepakbola Eropa (UEFA).
Meski agak usang, terjadi lebih satu dekade lalu, kasus skor curang seperti itu diduga pernah terjadi di laga Manchester United melawan Zalaegerszeg, yang bertemu di babak kualifikasi Champions League 2002/2003. "Keterlibatan" MU ini diungkapkan salah satu mantan gangster Serbia, Karesz kepada The Sun. Kata Karesz, sejumlah bos gangster di Eropa ingin melihat Zalaegerszeg kalah. Setidaknya tiga gol di leg kedua.
Kenyataannya begitulah. Zalaegerszeg, yang menang 1-0 pada leg pertama di Hongaria, tertinggal tiga gol. Padahal pertandingan di Old Trafford baru berlangsung 20 menit. Zalaegerszeg akhirnya kalah 0-5, setelah kiper Sasa Ilic mendapat kartu merah.
Begini pengakuan Karesz,  yang menyebutnya  dirinya sebagai “perantara”. Dia bernegosiasi dengan bos gangster asal Kroasia, sepekan sebelum pertandingan 27 Agustus 2002 itu. "Saya mengatur pertemuan di sebuah kafe di Zalaegerszeg. Taruhan besar dilakukan agar ZTE kalah minimal tiga gol," kata Karesz dilansir The Sun. Negosiasi itu diduga bernilai jutaan poundsterling.
Menurut Karesz, ada belasan gangster yang bertemu setiap bulannya di Budapest, Hongaria. Mereka mengatur skor. Tapi, Karesz  tampaknya sudah bertobat. Dia lalu menjadi whistle-blower,  setelah dia berseteru dengan para gangster itu.
Cara kerja sindikat
Pengakuan terbaru datang dari seorang mantan pemain. Dia adalah Mario Cizmek, mantan gelandang NK Zagreb. Tugasnya, juru bayar dalam skandal pengaturan skor.
Dalam persidangan yang dilansir The New York Times, Cizmek mengaku terlibat dalam sindikat pengaturan skor. Dia membeberkan mekanisme kerja di lapangan selama "meracuni" sportifitas di Divisi Pertama Kroasia. Itu terjadi pada 2010, menjelang akhir kariernya sebagai pemain.
Menurut Cizmek, target utama untuk disogok adalah kiper. "Anda tidak dapat melakukan itu tanpa seorang penjaga gawang," kata Cizmek. Lebih lanjut Cizmek mengatakan, jika sang kiper menolak tawaran, maka ia mengembalikan uangnya kepada “Bos Besar”, dan membatalkan kesepakatan.
Namun, Cizmek juga tak membantah jika pemain lain yang berposisi sebagai bek dan gelandang juga rentan disogok. Tapi kiper tetap menjadi target utama, meski harus mengeluarkan uang lebih banyak. Masih menurut Cizmek, uang sogokan untuk kiper dua kali lebih besar, karena hasil akan mempengaruhi statistik sang kiper.
Setelah kiper, posisi kedua paling diincar adalah bek, baru pemain dengan posisi gelandang. Sedangkan striker, jarang dilibatkan. Para gangster penyuap itu pun tak tanggung-tanggung. Terkadang, dari 11 pemain yang tampil di lapangan, enam diantaranya telah dibuat “masuk angin”.
Sebelum menyogok, para mafia pengaturan skor juga memilih-milih  "rekanan". Biasanya mereka akan menyasar pemain belia. Alasannya, anak muda mudah tergiur. Atau pemain hampir pensiun, yang kerap ingin mencari "uang pensiun".
Tapi, kerja paling mudah tentu saat menemukan pemain yang lagi dirundung soal keuangan. Tak hanya pemain, para mafia pengaturan skor kalau perlu menyogok pelatih, atau perangkat pertandingan. Selain itu, Cizmek juga menyebutkan, tim yang telah pasti terdegradasi, sangat mudah disusupi.
Cizmek, lelaki 37 tahun yang ditangkap di depan kedua putrinya pada 2012 silam itu kini tampak menyesal. "Karier yang saya bangun bertahun-tahun rusak, hanya dalam waktu satu bulan," kata Cizmek.(np)

MENTALITA ULTRAS

Mentalita ultras adalah sebuah pengorbanan seseorang dengan menuruti semua yang harus dilakukan seorang ultras sebagaimana mestinya. Mentalita sesungguhnya adalah dimana seseorang ultras hanya memfokuskan pikirannya untuk mendukung tim kebanggaannya, bukan untuk membuat keributan yang hanya akan menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri dan klubnya

Bentuk dukungan terhadap klub adalah dengan mengapresiasi perjuangan para pemain diatas lapangan hijau dengan berdiri dan bersuara lantang tak peduli walaupun pita suara hampir putus dan membuat sebuah miniatur neraka terhadap tim tamu. bukanm dengan nyanian yang provokatif yang akan memicu konflik yang hanya akan merugikan klub.

Mentalita ultras adalah mementingkan dukungan terhadap klub diatas segalanya. Tak peduli ada kegiatan lain yang sangat penting dan wajib dihadiri. Tapi, bagi seorang mentalita ultras dukungan terhadap klub jadi prioritas utama

Mentalita ultras dalah bagaimana caranya bisa menghadiri pertandingan sebanyak mungkin baik laga home maupun away. Seorang mentalita tidak akan membiarkan para pahlawannya berjuang sendirian. Mentalita tetap akan mengawal dimana pun dan kapan pun tim kebanggaannya berlaga entah di luar pulau maupun di luar negeri. Tak peduli walau tak ada dana, bahkan sampai harus menjual barang apa pun yang bisa dijaikan uang. Bagi mereka yang penting sudah bisa untuk transport dan untuk membeli tiket. untuk makan tak perlu dipikirkan, sudah bisa mengawal klubnya berlaga saja sudah cukup mengenyangkan.

Untuk ultras, para perusuh bukan termasuk dalam mentalita. mentalita ultras tidak akan pernah merugikan klubnya. Mengapa klub rugi ? Bukankah itu gengsi tersendiri ?Memang dengan memenangkan kerusuhan itu bisa menjadi kebanggaan tersendiri. Itu jangka pendeknya. Jangka panjangnya ? Panpel bisa memberikan sanksi. Bisa sanksi berupa uang maupun sanksi pengusiran pertandingan ata larangan bermain tanpa penonton. Sehintgga klub jelas jadi pihak yang dirugikan, uang yang bis digunakan untuk operasional hanya habis digunakan untuk membayar sanksi. Dukungan dari tribun yang seharusnya hadir pun menjadi sirna hanya karena larang bermain tanpa penonton.

Mentalita ultras tidak akan pernah bertarung tanpa alasan yang jelas. Pastikan pertarungan terjadi karena suporter lawan melempari pemain kita atau karena kita dihalangi untuk memberikan dukungan. mentalita ultras yang sebenarnya selalu hadir untuk mendukung timnya berlaga dari tribun bukan utnuk merugikan klubnya

Senin, 06 Mei 2013

PSS oh PSS


Jika kita membicarakan klub kebanggaan pasti tidak akan ada habisnya. Aksi permainannya, euforia di stadion, hingga prestasi tim yang mogok menjadi menu obrolan sehari-hari. Belum lagi, masalah pelik antar kelompok suporter selalu menarik untuk dibicarakan.

Padamu Sleman jiwa raga kami !!
Saat kita menyanyikan lagu itu dada kita selalu membusung bangga, tangan terangkat ke atas diiringi suara lantang. Namun apakah anda pernah mengira apa yang dirasakan oleh bapak-bapak terhormat yang sering duduk di bangku pemain cadangan atau di tribun VVIP stadion Maguwoharjo saat PSS bertanding?? kita berharap mereka juga bangga dengan apa yang kita nyanyikan.

Mengapa kita menunjuk bapak-bapak terhormat yang sering duduk di bangku pemain cadangan atau di tribun VVIP ??
Jika kita mengamati siapa saja orang-orang yang berada ditempat itu, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggungjawab dengan prestasi PSS belakangan ini. Mereka adalah jajaran manajemen tim PSS yang selama ini mempunyai otoritas untuk membangun tim sedemikian rupa, selain itu di sanalah stakeholder-stakeholder yang selalu menjanjikan prestasi untuk PSS.

Kenyataan yang tidak menyenangkan untuk pecinta PSS Sleman bermula pada tahun 2008 saat PSSI membuat format liga baru yang diberi nama Indosesian Super League. Klub-klub peserta ISL diambil dari 18 klub Liga Indonesia 2007 yang meliputi tim dengan peringkat sembilan teratas dari wilayah barat dan wilayah timur. Saat itu PSS hanya menempati klasemen akhir peringkat ke 12 sehingga tidak lolos ke ISL. Pada perjalanan dalam mengikuti liga divisi utama PSSI, PSS hanya menempati papan tengah klasemen akhir sehingga tidak mampu promosi ke ISL. Prestasi PSS semakin anjlok ketika musim kompetisi tahun 2009/2010 dan 2010/2011 saat PSS hampir terdegradasi ke level divisi I. Pada dua musim tersebut PSS wajib memenangkan pertandingan kandang agar lolos dari jurang degradasi.

Harapan besar sempat dirasakan oleh pendukung PSS Sleman pada saat Real Mataram menawarkan merger dengan PSS Sleman pada tahun 2011. Salah satu tuntutan dari merger tersebut adalah harus bermain di level tertinggi. Namun seiring kompleksnya masalah yang muncul pada saat menjajaki kesepakatan, akhirnya merger tersebut gagal dan PSS tetap bermain di divisi utama. Bahkan, saat ini PSS hanya mampu menghuni papan tengan klasemen paruh musim. Miris….

Bagaimana kinerja manajemen ??
Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dikerjakan bapak-bapak terhormat dijajaran manajemen karena memang porsi kita hanya suporter.

STORIA UN GRANDE AMORE

Tulisan ini saya awali dari salah satu judul lagu tim eropa, Juventus. Adalah menarik bagi saya untuk memotong frase awal lagu mereka, Storia un Grande Amore, kisah cinta yang besar. Tentu saja bukan hanya supporter Juventus yang mengenal rasa cinta pada klub sepakbola. Supporter-supporter lain juga selalu sama, memiliki rasa cinta pada klub sepakbola yang didukungnya.
 
Bicara supporter bagi saya tidak pernah jauh dengan obrolan tentang totalitas. Tentang cerita-cerita perjuangan yang mewarnai pertandingan. Datang ke pertandingan memang menjadi cerita tersendiri bagi setiap ego supporter. Kesadaran untuk membeli tiket menjadikan perjuangan-perjuangan ini memiliki arti. Keringat yang menetes di setiap perjuangan itu yang menuntun kita semua, supporter, ke arah yang sama, stadion. Perjuangan tidak hanya bicara tentang laga kandang. Totalitas sering kali didengungkan (dan lebih sering didengungkan) berkaitan dengan laga tandang, tentang seberapa besar perjuangan, tentang seberapa besar pengorbanan untuk hadir di stadion lawan, untuk mendukung PSS Sleman.
 
Seorang kawan bekerja di luar kota sebelum kompetisi dimulai, menabung hasil pekerjaannya untuk biaya lawatan tandang ke kota-kota lain di Indonesia, untuk mengawal PSS Sleman. Cerita lain lagi, kawan yang sementara tidak berdomisili di Jogjakarta datang ke stadion lawan dengan usahanya sendiri dan bergabung bersama kita di tribun. Sebagian kawan lain mengorbankan ujian di kuliahnya untuk hadir di pertandingan. Kawan lain sibuk berbohong pada orang tuanya bahwa mereka berangkat sekolah hanya untuk memastikan hadir di stadion. Tak jarang pula hubungan dengan lawan jenis kandas karena harus memilih antara pacar dan pertandingan sepakbola. Seorang senior saya harus melawan rasa sakit untuk tetap berada di tribun.
 
Totalitas, perjuangan dan pengorbanan bukan cerita yang dibagi untuk menunjukkan siapa yang terhebat dalam mendukung PSS. Cerita-cerita seputar totalitas bagi saya sendiri adalah cerita-cerita tentang keberanian. Keberanian untuk menekan diri kita sendiri pada batas yang harus kita lampaui. Keberanian untuk memaksa diri kita keluar dari kekhawatiran tidak dapat hadir di pertandingan. Semua cerita tentang totalitas bobotnya seimbang dalam satu benang merah, berbicara hal yang sama: KECINTAAN KITA PADA SUPER ELANG JAWA!
 
Oleh: Tonggos Darurat

PSS SLEMAN (titik dua bintang)

Warna bukanlah masalah. Semangtnya masih sama dan semakon besar ketika merah berubah menjadi hijau pada tahun 90. Ada semangat yang tidak pernah padam. Ada keinginan yang sama setiap hari, setiap waktu, setiap pertandingan. PSS menjadi juara! Menjadi elang jawa dengan cakar paling tajam. Mejadi elang jawa dengan sayap paling lebar. Menjadi elang jawa dengan mata yang mengincar lawannya tanpa ampun. Karena PSS adalah super elang jawa. Saat merah berubah menjadi hijau, semangat ini semakin menggebu, semangat yang semakin besar pada tahun 90.
 
Ya, warna kami kini hijau, kami bangga dengan warna kami saat ini. PSS pasti juara. Itu yang selalu kami harapkan dari PSS. Harapan besar selalu kami sematkan di super elang jawa. Terlihat bodoh memang bagi mereka yang tidak mencintai tim kami. Kami hanyalah orang ndeso, orang gila yang mendukung tim dengan prestasi redup. Pernah kami merasa seperti menjadi tim yang juara ketika kami lolos dari degradasi. Bisa kalian bayangkan bagaimana ketika mata berkaca, hati bergetar, dan teriakan kami semakin lantang.
 
Berada di divisi kelas kedua tidak lalu membuat kami berhenti berteriak. Selalu hadir di pertandingan kandang ataupun tandang itu kewajiban kami. Ketika harus menghadiri pertandingan tandang kami rela lapar, tidak peduli dengan berapa uang saku yang kami miliki. Yang terpenting bagi kami adalah bisa masuk stadion dan mendukung PSS berlaga di kandang lawan. Gembira sekali ketika bermain tandang dapat meraih poin. Hahaha. Yang aneh lagi kalau pertandingan kandang, kami menyebutnya PMS. Suatu sindrom yang meracuni kami ketika pertandingan akan berlangsung. Malam sebelum pertandingan sindrom itu semakin menjadi, mata tidak dapat dipejamkan dan harap esok segera datang.
 
Ada rindu yang selalu terjawab di akhir pekan. Rindu untuk bertemu Super Elang Jawa. Kami punya keinginan yang sama, hadir di stadion secepat mungkin. Memastikan kami tidak terlambat datang. Kami ingin hadir di sana, memastikan pemain keluar dengan wajah kepastian, kemenangan! Jangan mencoba menghentikan kami karena akan percuma. Semangat ini sudah tidak dapat diperkecil lagi. Justru semakin besar di tiap pertandingan yang mengantar Super Elang Jawa menuju kejayaannya. Cinta kami semakin besar, kerinduan kami semakin dalam, semangat ini tak pernah padam!
 
Pernah lho kami akan dukung tim kami tapi kami tidak diijinkan masuk. Alasannya tribun tempat kami beribadah dipakai untuk tim tamu. Mereka pikir kami akan patah. Tidak semudah itu bung. Kami memutuskan untuk tetap bernyanyi di luar stadion. Dengan semangat yang tetap menggebu. Karena memang begitulah cara kami. Memang itu yang bisa kami lakukan. Berteriak mendukung tim yang terpatri di hati kami. PSS oh PSS! Tim medioker yang membuat banyak orang menjadi gila. Haha
 
Kami tidak peduli dengan siapapun yang tidak menyukai kami. Kami punya atmosfer sendiri dibelakang gawang selatan, tempat kami berdiri, tempat kami memutus pita-pita suara dengan nyanyian dan teriakan yang lantang: PSS! Kami tidak peduli dengan siapapun yang tidak menyukai kami. Ada rantai yang erat mengikat kami di sini. Ada jabat tangan dari mereka. Dari para pendahulu yang tidak pernah lelah bermimpi tentang kejayaan. Ada senyum yang tersimpul saat mereka memasuki usia kepala 3 dan melihat kami menyanyi sama kerasnya dengan mereka. Senyum kami tersimpul sama melihat mereka yang meneteskan keringatnya melawan kelelahan hanya untuk bertahan sampai akhir pertandingan: kemenangan!
 
Oleh: Bagus Imam dan Tonggos Darurat

BRIGATA CURVA SUD: ANOMALI SUPORTER SEPAKBOLA INDONESIA

Dalam laman Jakarta Globe Blogs (JG Blogs) dimuat satu tulisan yang membuat saya tertarik untuk membaca isinya. Tulisan itu ditulis oleh Antony Sutton, seorang blogger yang dalam profilnya disebutkan sebagai seorang fans Arsenal yang ingin meng-capture keindahan sepakbola di Asia Tenggara. Tulisan itu berbicara mengenai Brigata Curva Sud, kelompok supporter pendukung tim dari kota kecil, PSS Sleman. Baginya, Brigata Curva Sud (BCS) adalah hal yang baru pertama kali ditemui di tengah-tengah citra buruk supporter sepakbola Indonesia. Dengan semangat ala ultras yang dibawanya, BCS mewarnai tribun selatan Stadion Maguwoharjo ketika PSS bertanding.
 
Saya jadi ingin menulis sesuatu tentang BCS. Jika selama ini Sleman identik dengan Slemania, yang pernah menjadi supporter terbaik di Indonesia, maka kemapanan itu mulai diusik dengan keberadaan BCS. Saya tidak tahu persis kronologis berdirinya BCS. Namun saya mencatat BCS mulai menampakkan eksistensinya pada kompetisi Divisi Utama musim 2009/2010. Saya yang selalu menyaksikan pertandingan PSS Sleman dari tribun sebelah timur mengamati sekelompok supporter PSS berbaju hitam yang gemar menyanyikan chants berbahasa asing untuk mendukung PSS Sleman. Kelompok supporter berbaju hitam tersebut awalnya bukanlah kelompok yang besar, hanya terdiri dari beberapa puluh orang. Musim selanjutnya, sepertiga tribun kuning, yang kira-kira berkapasitas total 7.000 orang dipenuhi oleh supporter berbaju hitam. Saat itu saya masih menyebut kelompok tersebut dengan nama Ultras PSS, meskipun sebenarnya nama Brigata Curva Sud sudah mulai eksis. Musim 2011/2012 ini jumlah supporter berbaju hitam yang menyebut dirinya sebagai BCS semakin bertambah banyak. Pada pertandingan kandang terakhir musim 2011/2012 yang lalu, saat PSS melawan PPSM KN Magelang, seluruh tribun kuning dipenuhi oleh pasukan BCS. Semua yang ada di tribun kuning ikut berdiri dan bernyanyi sepanjang 2x 45 menit. Hal ini menghadirkan suasana mistis yang menggetarkan di stadion Maguwoharjo Sleman.
 
Apa yang menjadi cirri khas BCS dalam memberikan dukungan bagi PSS Sleman? Ciri yang paling khas adalah BCS selalu mengenakan kaos berwarna hitam dan memberlakukan wajib bersepatu ketika menyaksikan PSS bertanding. Keringat pemain yang berlari-lari sepanjang 2x 45 menit di lapangan harus diapresiasi dengan sopan. Caranya adalah dengan berpenampilan pantas ketika menyaksikan PSS berlaga. BCS berdiri dan bernyanyi selama 2 x 45 menit tanpa henti. Lagu-lagu (chants) yang dinyanyikan hampir semua adalah lagu baru yang belum pernah dinyanyikan oleh kelompok supporter lain di Indonesia. Ada satu lagu yang dijiplak dari lagu yang dinyanyikan oleh Curva Sud Milano (Suporter AC Milan) dan beberapa lagu berbahasa Inggris. Pada saat babak kedua akan dimulai, BCS akan melakukan koreo. Koreo ini merupakan kombinasi gerakan menggunakan kertas warna-warni dan membentuk pola tertentu. Koreo ini lazim dilakukan oleh supporter-suporter di Italia. Di Indonesia, banyak kelompok supporter melakukan gerakan koreo ini. Yang membedakan dari BCS adalah mereka berani menciptakan bentuk-bentuk yang sulit melalui koreo tersebut. Dan di akhir pertandingan, BCS selalu melakukan pyro show. Hal ini juga sudah banyak dilakukan oleh supporter sepakbola di Indonesia. Hanya saja aksi pyro show yang sedikit unik pernah dilakukan BCS pada musim 2010/2011 yang lalu kala menjamu Persebaya. Saat itu BCS menyalakan kembang api dan berjajar memanjang di sepanjang tribun selatan.
 
Koreo BCS Saat PSS vs PPSM KN (27/5)
 
BCS di dalam memberikan dukungan bagi PSS Sleman berusaha menghindari lagu-lagu yang berbau rasis atau ancaman secara verbal. Jika biasanya supporter sepakbola Indonesia sering mengintimidasi lawannya dengan lagu “dibunuh saja”, BCS tidak pernah menyanyikan lagu dengan kalimat seperti itu. Tidak pernah pula BCS menyanyikan lagu-lagu yang menghina supporter tim lain. Meskipun sempat terlibat perseteruan dengan kelompok supporter lain, BCS tidak pernah merendahkan nama supporter lain ketika memberikan dukungan bagi PSS.
 
BCS adalah anomaly bagi supporter sepakbola Indonesia, yang baru saja tercoreng moreng namanya gara-gara empat nyawa melayang atas nama supporter sepakbola. Meskipun aksinya tergolong garang, namun BCS berusaha menghapuskan image kekerasan dan intimidasi berlebihan ketika mendukung tim kebanggaannya melalui tingkah laku mereka di stadion. Selain dukungan penuh yang diberikan di dalam lapangan, BCS juga terkenal tertib membeli tiket. Bagi mereka, menonton pertandingan dengan membeli tiket dengan harga penuh merupakan salah satu bentuk dukungan bagi tim kesayangannya. Di tengah banyaknya supporter sepakbola yang berusaha mencari gratisan untuk menonton tim kesayangannya bertanding, apa yang dilakukan oleh BCS ini merupakan hal yang patut untuk dicontoh.
 
Saya bukan seorang BCS. Saya bukan juga Slemania yang setia duduk di tribun hijau (tribun yang diperuntukkan bagi Slemania). Saya adalah pendukung PSS Sleman yang dari dulu sampai sekarang selalu ijen (sendirian). Saya tidak pernah bergabung dengan komunitas apapun. Bahkan ketika PSS Sleman bermain di Palangkaraya minggu lalu saya ikut menyusul ke sana sendirian. Namun saya kagum dengan rekan-rekan BCS. Militansi yang mereka tunjukkan membuat saya semakin mencintai PSS. Bukan hanya saya yang kagum. Banyak penonton di tribun merah berlomba-lomba mengabadikan aksi koreo yang menawan dari BCS. Bagi saya BCS adalah setetes air segar bagi persepakbolaan Indonesia. Rasa cinta yang besar bagi tim kesayangannya tidak harus ditunjukkan dengan intimidasi berlebihan bagi tim lawan dan tindak-tindak anarkisme. BCS tidak mengenal koalisi-koalisi-an. Siapapun supporter sepakbola, asal tidak membuat ulah adalah teman. Seandainya militansi tanpa kekerasan ala BCS ini bisa ditularkan ke seluruh Indonesia, saya pikir tidak perlu lagi ada korban selanjutnya yang jatuh hanya gara-gara berbeda kostum.
 
Selama masih satu Indonesia, tidak ada alasan untuk gontok-gontokan.
 
sumber: http://kompasiana.com/post/bola/2012/06/08/brigata-curva-sud-anomali-suporter-sepakbola-indonesia/
Agustinus Yunastiawan

ULTRAS, A WAY OF LIFE

Pengantar:
Ini bagian pertama dari tiga artikel tentang klutur Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian pertama ini akan lebih banyak mengulas pengertian dan nilai-nilai Ultras serta kehadiran mereka di Italia. Bagian kedua, “Ultras, Kekerasan dan Rasisme” akan saya unggah beberapa hari lagi, dan bagian ketiga, “Irriducibili Tak Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun demikian, masing-masing artikel dapat dibaca secara mandiri.
 
*****
Sebelumnya, pendukung suatu klub bersifat individualis, sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Mereka mungkin saja patriotis di stadion, tetapi identifikasi dan simbolisasi diri pendukung terhadap klub berhenti begitu laga usai dan lampu stadion dipadamkan. Mereka bersifat anonim dan sama sekali bukan merupakan bagian spiritual dari klub.
 
Kata Ultras dimaknai sebagai lebih, sangat, luar biasa atau ekstrem. Dalam sepakbola Ultras mengacu kepada kelompok pendukung atau fans yang terorganisasi, memiliki kode berperilaku yang bersifat komunal, cenderung eksklusif serta memiliki identitas yang kuat serta loyalitas tak terbatas kepada tim sepakbola yang didukungnya. Ultras lebih daripada sekedar hadir di stadion dan memberi dukungan, ultras adalah sebuah totalitas mental, sikap dan perbuatan dalam mendukung klub, di dalam dan di luar stadion, saat ada dalam kelompok dan saat sendiri, saat menang dan saat kalah, saat klub di puncak kejayaan dan saat klub di nadir keterpurukan. Maka, empat nilai penting pada Ultras adalah kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas.
 
Cikal Bakal Ultras
Kelompok Ultras pertama di dunia terbentuk justru bukan untuk mendukung sebuah klub, melainkan untuk mendukung tim nasional. Torcida Organizada terbentuk di Brasil tahun 1939 untuk mendukung timnas mereka. Perang Dunia Kedua yang melanda Eropa membuat gagasan Ultras ini sedikit terlambat berkembang ke benua biru. Barulah pada 1950 Ultras pertama Eropa lahir di Yugoslavia, ketika pendukung klub Hajduk Split membentuk Torcida Split.
 
Hanya butuh waktu satu tahun, gagasan Ultras ini masuk ke Italia. Tahun 1951 lahirlah Ultras pertama di Italia, Fedelissimi Granata yang mendukung klub Torino. Fenomena Ultras ini makin meluas di Italia. Maka bermunculanlah kelompok Ultras seperti Fossa dei Leoni (Milan, 1968), Boys LFN (Internazionale, 1968), Ultras Sampdoria (Sampdoria, 1969) Commandos Monteverde Lazio/CML (Lazio, 1971), Yellow-blue Brigade (Hellas Verona, 1971), Viola Club Viesseux (Fiorentina, 1971), Ultras Napoli (Napoli, 1972), Griffin Den (Genoa, 1973), For Ever Ultras (Bologna, 1975), Black and Blue Brigade (Atalanta, 1976), Fossa dei Campioni dan Panthers (Juventus, 1976), dan Commando Ultra Curva Sud/CUCS (Roma, 1977).
 
Modus operandi terbentuknya kelompok-kelompok ini beraneka-ragam. Menggabungkan kelompok-kelompok kecil yang sudah ada sebelumnya, dari sosialisasi di cafe atau bar, kelompok di sekolah atau kampus, komunitas suatu area geografis tertentu, partai politik dan sebagainya. Usia mereka saat terbentuknya kelompok ini biasanya berkisar antara 15-25 tahun.
 
Kelompok-kelompok pertama yang terbentuk di atas biasanya tidak bertahan lama. Kelompok baru dari klub yang sama bermunculan, bersaing dan menyisihkan yang sebelumnya. Atau, beberapa kelompok melakukan merger. Dipenjarakannya tokoh-tokoh suatu kelompok Ultras akibat kerusuhan juga sering menjadi pemicu bubar. Hal yang paling sering terjadi adalah perpecahan dalam suatu kelompok akibat masuknya kepentingan partai politik yang memanfaatkan kekuatan Ultras, komersialisasi Ultras dalam memproduksi dan menjual merchandise, atau masuknya kelompok “swing ultras” alias para “glory hunters”. Mereka yang disebut terakhir ini adalah pendukung yang berpindah klub seiring naik-turunnya prestasi klub, sehingga melunturkan nilai-nilai Ultras itu sendiri. Fossa dei Leoni hingga kini tercatat sebagai Ultras yang paling lama bertahan (1968-2005).
 
Regenerasi anggota pada kelompok Ultras biasanya dilakukan secara turun-temurun dalam keluarga, dalam suatu institusi sosial-budaya seperti sekolah, kampus, klub-klub hiburan dan sebagainya. Penanaman nilai-nilai Ultras ini berlangsung sejak usia dini secara alamiah
 
Independensi
Nilai penting lain yang dianut Ultras adalah independensi. Nilai terakhir ini secara masif diperkenalkan oleh Irriducibili Lazio yang terbentuk tahun 1987. Penerapan independensi membatasi loyalitas Ultras hanya kepada tim atau para pemain, dan mengambil posisi independen terhadap pihak lainnya termasuk partai politik, sponsor dan terutama terhadap manajemen klub.
 
Setelah hadirnya Irriducibili Lazio, maka Ultras di Italia tersegregasi menjadi Ultras Keras dan Ultras Lunak. Kelompok keras akan menolak bantuan dalam bentuk apapun dari manajemen klub, mereka mandiri secara finansial, mengeluarkan uang pribadi untuk tiket dan biaya perjalanan dari kota ke kota mengikuti para pemain yang bertanding serta untuk memproduksi peraga (tifo) dalam stadion. Tak heran, fans Lazio misalnya, dapat bersikap sangat konfrontatif terhadap manajemen Lazio sendiri demi kepentingan pemain dan tim, yang diyakininya. Kelompok Ultras keras ini bersikap protektif membela pemain dan memprotes kebijakan manajemen klub saat prestasi kub melorot.
 
Kelompok lunak ini cenderung sejalan dengan manajemen klub dan sangat bergantung pada manajemen klub dalam hal pendanaan untuk keperluan spanduk atau bendera, penyediaan sarana gudang atau sekretariat, diskon tiket dan bahkan penyediaan sarana transportasi. Kelompok Ultras dari Juventus misalnya, sebagian besar terdiri dari keluarga dan kerabat pabrik mobil Fiat dan pemasoknya, mereka dikoordinasi dan dibiayai oleh keluarga besar Agnelli. Sementara kelompok Ultras di Internazionale memiliki hubungan finansial yang erat dengan keluarga besar Moratti. Beberapa kelompok bahkan memakai nama sang taipan minyak Italia tersebut pada nama grupnya. Kelompok Ultras lunak ini cenderung membela manajemen klub dan menyalahkan pemain atau pelatih jika prestasi klub merosot.
 
Apapun, Ultras lebih daripada sekedar pendukung klub. Ultras adalah jalan hidup, gaya hidup dan mentalitas. Tahun 2009 kelompok Ultras keras dari Lazio, Roma, AC Milan, Catania, Genoa dan Napoli mengadakan demonstrasi besar di kota Roma menentang penindasan atas Ultras dan pembatasan masuk stadion. Mereka mengeluarkan deklarasi bersama. Isi deklarasi ini dapat menggambarkan, bagaimana mentalitas Ultras itu sesungguhnya.
 
Ultras, a Way of Life:
 
“Kami berbeda dari yang normal dan biasa. Berbeda dari rata-rata, dari yang umumnya ada. Kehormatan, totalitas, loyalitas dan persahabatan. Ultras adalah tentang nilai-nilai idealisme yang diterapkan sepanjang masa. Ultras bukan tentang yang terbaik atau yang teratas , melainkan tentang mentalitas. Mentalitas yang hanya ada pada Ultras. Mentalitas yang yang lebih kuat dari segala tekanan. Pelarangan masuk stadion dan jeruji penjara, tak ada yang dapat menghentikan kami. Kami Ultras, tindaslah kami, maka bara tekad kami akan semakin besar. Kami memercayai mentalitas Ultras. Sepakbola telah sakit, benar-benar sakit. Semuanya hanya tentang uang, uang dan uang. Sepakbola normal telah diabaikan, stadion tak pernah terisi penuh. Mereka menyalahkan Ultras, tapi kami tahu lebih baik daripada mereka.”
 
“Kamilah bagian termurni yang bertahan dari sepakbola. Kami mengeluarkan ratusan euro dan menempuh ribuan kilometer ke segenap pelosok Italia untuk mewakili kota kami, warna dan klub kami. Kekerasan bukan lagi yang terpenting, karena kalian akan selalu menemukan kekerasan dimanapun kalian berada, di setiap kebudayaan dan di setiap negara. Mereka mengatakan bahwa Ultras merusak sepakbola. Salah besar! Uang, doping, menyuap pemain dan membayar wasit serta pemain yang digaji tak masuk akal tingginya, itulah yang merusak sepakbola. Kamilah yang selalu meneriakkan dukungan bagi tim kami, setiap hari, setiap minggu. Salju, hujan dan teriknya matahari bukan masalah bagi kami. Kami membenci sistem kalian, kami melawan penindasan kalian, dan akan selalu begitu. Ayah-ayah kami dulu memenuhi Curva, kini kami yang ada di sana, dan kelak putera-putera kami yang akan menggantikan. Kami akan menanamkan kepada mereka nilai-nilai yang kami anut, membuat mereka mengerti tentang mentalitas kami, sehingga mereka akan melalui jalan hidup yang sama dengan kami. Generasi tua hilang, generasi baru muncul, tetapi idealisme Ultras akan tetap sama sepanjang masa.”
 
dikutip dari: http://galuhtrianingsihlazuardi.blogspot.com/2012/09/ultras-way-of-life.html?spref=fb

AGAINTS MODERN FOOTBALL

Apa itu sepak bola modern seperti apa yang dimaksud? Apakah dampak dari sepak bola modern mempengaruhi bagi seorang supporter ?

Salah satu contohnya adalah Tim AUSTRIA SALZBURG yang sekarang telah berganti nama menjadi RED BULL SALZBURG dimana orang-orang kaya membeli tim itu lalu mengubah segalanya tentang tim itu, Mulai dari NAMA hingga Warna tim itu. Bahkan supporter tim itu tak diperkenankan memakai Jarsey lama dari AUSTRIA SALZBURG, dan ini berarti SEPAK BOLA MODERN telah melupakan masa lalu, Sejarah Tim dan Tradisi daritim itu sendiri. Aspirasi dari supporter dan fans tidak dimasukkan sebagi pertimbangan untuk memutuskan sebuah keputusan dalam Sepak Bola Modern. Dan kini semata – mata Supporter hanyalah Uang berjangka yang terus mengalir untuk mendapatkan sebuah tiket dengan Harga yang lebih WOW dari sebelumnya. Tak ada yang peduli ketika perlahan para Fans pergi, dan memakai uang simpanannya untuk mendukung timnya dalam laga away, yang padahal biasanya hanya bermain di akhir pekan saja.

Selain itu tugas supporter yang seharusnya tetap berdiri kini hanya duduk dan menonton saja sambil sesekali meneriakan kekesalannya. Kini Tampilan tak diperbolehkan, tak ada kembang api, Bendera dan Polisi pun kini bertindak lebih brutal terhadap supporter.Mereka menangkapi Supporter dengan tampilan yang dianggapnya sebagai biang kerusuhan dan melarangnya memasuki daerah stadion. Hanya dengan kecurigaan mereka bisa langsung menghakimi. Di eropa Semua supporter sudah muak diperlakukan seperti seorang penjahat dan di persulit akses menuju stadion . Semua kini di tentukan oleh Sponsor. Sponsor pula yang menentukan kapan pertandingan harus dimulai setelah memastikan sebagian besar pelanggannya duduk di depan TV.

Tapi usaha itu semua bagi kami hanyalah sia-sia saja, karena bagi kami:

1. Kami tidak mendukung sponsor yang berkontribusi pada permainan yang berlangsung selama seminggu full.
2. Kami tidak membeli produk di mana kita berpikir bahwa mereka memberikan kontribusi untuk mengubah sejarah sebuah tim ‘dan tradisi yang ada.
3. Kami tidak berlangganan Channel TV olahraga swasta karena memberi kontribusi untuk mengubah melepaskan tendangan kali, sehingga sulit bagi para fans mengikuti tim mereka di laga away.
4. Kami menentang semua tempat duduk stadion. Kami akan BERDIRI dan mendukung tim kami.!
5. Kami tidak akan menampilkan bendera dan spanduk yang diberikan kepada kita oleh pihak “sponsor” dan lebih baik memiliki yang lain dari pada nama kelompok kami atau nama tim kami diambil mereka.
6. Kami membenci musik disko sebelum, setelah dan di istirahat dari permainan, serta tarian menjijikan dan acara lainnya. Kami ada untuk menonton pertandingan sepak bola dan bukan teater cerdik!

sumber: Facebook Brigata Curva Sud 1976 (official fan page)

HARI KETIKA ULTRAS BERSATU

Minggu, 11 November 2007. Terjadi beberapa kerusuhan di Kota Roma.antara pendukung Lazio dan ultras Juventus. Di sebuah SPBU di Badia al Pino di Arezzo polisi berusaha membubarkan sebuah bentrokan. Gabriele Sandri, seorang DJ yang pendukung Lazio berada di tempat dan waktu yang salah, duduk di dalam mobilnya di sekitar tempat itu. Sebuah peluru yang dilepaskan seorang personel polisi kota Roma bernama Luigi Spaccarotella menembus leher Sandri. Sandri menghembuskan nafas terakhirnya.
 
Kerusuhan merebak di seantero Italia, ultras dari semua klub di Italia memprotes brutalisme polisi tersebut. Mereka, saat itu, tidak lagi mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang didukungnya, tetapi mereka sebagai keluarga besar ultras merasa terzalimi.
 
Pemakaman Sandri diadakan Rabu, 14 November 2007, diawali misa di gereja setempat. Ribuan ultras dari berbagai klub di Italia, hari itu datang memberikan penghormatan terakhirnya kepada Sandri. Ultras dari semua klub di Italia berbaur, melupakan sementara semua rivalitas. Di hari Rabu itu semua ultra Italia bersatu.
 
Di bawah ini adalah sebuah catatan harian seorang remaja pendukung AS Roma, klub sekota dan rival abadi Lazio, yang menuliskan pengalamannya menghadiri upacara penghormatan bagi Sandri:
 
 
“Pemakaman Gabriele Sandri akan dilakukan hari ini di gereja paroki tempat dia menerima Sakramen Pemandian, beberapa tahun yang lalu. Gereja ini terletak di Piazza Baldunia, tak jauh dari rumah dan toko keluarganya, yang dikelola Sandri. Saya memutuskan untuk menghadirinya. Sebagian untuk menunjukkan rasa hormat saya padanya, sebagian lagi karena kejadian ini membuat saya marah. Sisanya karena rasa keinginan tahu saya.”
 
“Saya naik bus nomor 913 dari halte Metro di Lepanto. Seorang pria berusia empatpuluhan dan membawa payung yang terlipat naik ke bus sebelum saya, sambil mengamati peta kecil yang kelihatannya dicetak dari internet. Saya mengintip dari balik bahunya, ternyata peta itu menunjukkan rute ke arah gereja. Saya sendiri tidak membawa peta, walaupun saya belum pernah bepergian ke bagian barat daya kota Roma, karena mengira cukup mudah untuk menemukan lokasinya.”
 
“Bus sangat penuh. Sekitar setengah lusinan remaja dengan topi dan syal AS Roma tertawa riang dan bercanda di bagian belakang bus. Dua gadis mungil berambut pirang berusia sekitar 20 tahun berdiri dalam keheningan. Mereka mengenakan jaket hitam dengan logo birulangit dan putih Lazio serta emblem bendera Italia di lengannya. Kata “Irriducibili” tercetak di bagian depan. Di setiap halte makin banyak orang dengan syal Lazio naik dan membuat bus makin penuh saja. Seorang pria paruh baya bertanya kepada mereka, apakah mereka kenal dengan Gabriele Sandri. Mereka menjawab tidak, tetapi mereka tahu nama pembunuhnya. Pria itu hanya mengatakan bahwa keadaan akan tetap sama saja. Seorang perempuan berusia tigapuluhan bercelana ketat meneruskan bahwa kejadian ini menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah bisa memercayai polisi.”
 
“Kami turun dari bus dan berjalan ke arah taman di depan gereja. Gerimis mulai turun. Waktu menunjukkan pukul 11.40 dan taman penuh sesak dipadati orang. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman. Sebagian besar massa adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut usia pun cukup banyak. Media memperkirakan paling tidak 5.000 orang ada di sana saat itu.”
 
“Kelompok ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok dari Juventus, Taranto, Avellino, Milan Varese, Genoa, Cremonese dan Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syalnya, dari klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar di mana terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub, dilatarbelakangi tilisan KEADILAN BAGI SANDRI. Di antara syal Lazio saya melihat syal AS Roma, Udinese, Palermo, Messina dan banyak lagi. Karangan bunga tidak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung Lazio, tetapi juga dari Antonello Venditti, pimpinan ultras AS Roma. Juga dari petinggi ultras Napoli, Sampdoria dan Torino. Bahkan saya juga melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni, yang telah bubar dua tahun silam.”
 
“Sementara di dalam gereja sudah penuh-sesak oleh keluarga, kerabat dan wakil pemerintah Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Dan, Francesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk pelatih Delio Rossi.”
 
“Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat atau mendengar upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat para tokoh Irriducibili. Satu diantaranya memiliki tattoo di leher kanannya: ACAB (All Cops Are Bastards = Semua Polisi Anak Haram). Saya berpindah tempat, sementara hujan makin deras. Tepukan tangan berhenti ketika pemain Lazio terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berusia limapuluhan, seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas-remas saputangan di tangannya.”
 
“Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia yang bukan beraksen Roma. Pimpinan Banda Noantri tiba dan berdiskusi sejenak dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka dipenuhi tattoo bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Waktu terus berjalan, makin banyak orang berdatangan. Saya berusaha mengabaikan bahwa mantel saya yang tidak tahan air sebentar lagi akan tak berguna.”
 
“Lewat pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan ketika peti jenazah Sandri diusung keluar. Ultras dari berbagai klub kompak meneriakkan “Gabriele uno di noi” atau “Gabriele, kamu bagian dari kami.” Sebagian massa mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya tak bergitu jelas, tetapi akhirnya ternyata itu lagi “Vola Lazio Vola”. Sebelumnya saya hanya mendengar sayup-sayup lagu itu ketika berada di Curva Sud dan tenggelam dalam sorakan giallorossi di sekitar saya.”
 
“Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras, dan perempuan tua di depan saya tadi, ikut bernyanyi dengan suara bergetar. Saputangannya kini telah benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras, perempuan di depan saya akhirnya tak kuat lagi menahan emosinya dan menangis terisak-isak di tengah demuruhnya nyanyian “Lazio sul prato verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un’aquila nel cielo, piu in alto sempre volerà”. Untunglah saya membawa tissue, karena saya juga mulai menangis.”
 
“Usai bernyanyi, terdengar beberapa yel “Gabriele sempre con noi” lagi. Beberapa orang sempat melantunkan nyanyian anti-polisi tetapi segera dicegah temannya. Diawali beberapa orang, akhirnya kami semua menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda Noantri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka, tanpa yel, tanpa slogan, hanya sebuah penghormatan.”
 
“Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan. Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening, dan duduk di dalamnya. Mereka menghapus uap air dari jendela dan memandangi kami dengan pandangan kosong. Pemain Lazio Mundingayi bahkan menempelkan wajahnya di jendela bus. Kami memandang mereka kembali. Seorang anak kecil melambai kepada mereka dan bertepuk tangan. Massa meninggalkan tempat sama heningnya dengan saat mereka datang. Pulang ke rumah masing-masing. Sekitar seribu orang ultras Lazio menuju Olimpico, berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.”
 
“Mentalitas ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan dari berbagai kota: Milan, Torino, Udinese,Napoli, Taronto, Palermo; dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah derasnya hujan, untuk datang memberikan penghormatan terakhir kepada seorang yang tidak mereka kenal. Mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak dikenalnya seminggu yang lalu. Dan mereka membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi masihkah Anda menganggap bahwa semua ultras itu identik dengan kekerasan?”
 
Pengadilan memutuskan Luigi Spaccarotella bersalah dan menghukumnya 6 tahun penjara. Ketika Spaccarotella naik banding, pengadilan Italia justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan, karena menemukan adanya unsur kesengajaan.
 
Sandri telah tiada di usianya yang belia. Tetapi Sandri adalah monumen ultras di Italia, tidak hanya bagi Lazio. Curva Nord Olimpico kini bernama Curva Nord Gabriele Sandri dan sebuah bangku dengan foto Sandri sengaja dibuat di sana. Selalu dikosongkan sebagai penghormatan terhadap dirinya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua ultras di Italia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri didirikan dan tetap beraktivitas hingga hari ini.
 
sumber: http://galuhtrianingsihlazuardi.blogspot.com/2012/09/hari-ketika-ultras-bersatu.html

ORA MUNTIR !!!!

(Oleh: Tonggos Darurat)
 
Untuk kalian yang menjadi bagian dari BCS saya pastikan tak asing lagi dengan teriakan ini. Ora muntir sebagai slogan BCS yang selalu didengungkan bersama dimanapun, kapanpun, di kota manapun kalian singgah untuk mendukung PSS. Beberapa kali BCS terlibat keributan –yang sebenarnya biasa saja untuk pendukung sebuah klub sepakbola- dan pertarungan selalu berakhir dengan teriakan slogan ora muntir. Tapi sedangkal itukah slogan itu diteriakkan? Ora muntir sebagai slogan tidak takut berkelahi dengan siapapun.
 
Atas nama membela pemain yang dilempari oleh pendukung tim lawan, keributan antar pendukung klub sepakbola tidak pernah bisa disalahkan. Ora muntir dapat kita artikan sebagai tidak takut. Pada apapun! Tapi kita ada untuk PSS dan slogan ora muntir tidak melulu hanya tentang pertarungan kan? Ijinkan saya untuk kembali ke musim-musim sebelumnya, pertandingan awal musim. Panpel melarang kita masuk ke tribun kita sendiri dengan alasan akan digunakan untuk tim tamu, yang katanya akan datang dalam jumlah besar. Lantas kita berhenti dan pulang? Tidak, kita tetap tinggal dan bernyanyi di luar sama kerasnya sewaktu kita seharusnya bernyanyi di dalam. Tidak berdiri di tribun kita seharusnya tidak pernah sekalipun menyurutkan langkah kita. Hal sama terulang di pertandingan kandang kedua, kita terpaksa ada di tribun timur, tribun yang bukan tempat kita sebenarnya. Langkah, semangat, dan suara kita tidak habis di situ. Kita kembali bernyanyi sama kerasnya seperti kita bernyanyi di tribun kita seharusnya.
 
Bendera-bendera berkibar, bertambah banyak dari pertandingan satu ke pertandingan selanjutnya. Lagu-lagu bertambah riang, suara kita semakin lantang dari hari ke hari, dari tiket ke tiket yang kita beli di setiap laga. Sampai akhirnya kita mewujudkan mimpi bersama yang lama tertunda, koreografi. Dan tak pernah berhenti di satu titik, koreografi kita semua berkembang dari skala yang kecil sampai di akhir musim menjadi koreografi satu tribun penuh. Lawatan-lawatan laga tandang mengalami hal serupa, dari keberangkatan dengan jumlah kecil sampai keberangkatan dalam jumlah yang sangat besar. Melihat perkembangan inilah yang kemudian saya dapat mengatakan bahwa ora muntir yang dipahami sebagai tidak takut berkelahi dengan siapapun, dimanapun, dan kapanpun adalah ora muntir yang dipahami secara dangkal. Saya sendiri mencoba memahami ora muntir sebagai slogan yang mewakili kita semua, tingkah laku dan pola pikir kita, juga mewakili hasil perilaku kita. Ora muntir saya pahami sebagai tidak takut membuat bendera untuk PSS, walaupun kita semua memiliki keterbatasan yang sama, dana. Ora muntir saya pahami sebagai tidak takut mencoba untuk membuat koreografi untuk PSS, walaupun kita semua tahu bahwa koreografi bukanlah hal yang mudah. Ora muntir juga saya pahami sebagai tidak takut mendukung PSS dimanapun dan kapanpun, sampai akhirnya beberapa dari kita benar-benar mewujudkan mimpi untuk datang di lawatan pertandingan luar pulau.
 
Semua yang kita lakukan di musim-musim sebelumnya bukanlah hal yang mudah. Tidak dapat kita hindari dan kita pungkiri, anggapan bahwa BCS berkembang terlalu cepat memang agaknya benar adanya. Tapi bukan itu yang menjadi masalah kita di kemudian. Masalah yang menghantui kita sebenarnya adalah tantangan untuk berkembang lebih lagi baik dari segi koreografi, suara yang lantang, lagu-lagu penyemangat, bendera-bendera yang berkibat, kehadiran di stadion, dan masih banyak lagi sampai akhirnya kita semua dapat tersenyum dan berkata, “kita memang tidak dapat dihentikan.”
 
Kembali ke pertandingan musim lalu sebagai koreksi, PSIR Rembang melawan PSS Sleman. Lawatan besar kita dengan total 12 bis. Pertandingan dikuasai PSS Sleman dengan percobaan tendangan Trihandoko yang mengenai mistar lawan, Bogi bermain baik dengan menghalau serangan-serangan dari tim lawan, Andrid beberapa kali menembus pertahanan lawan dengan gesit. Tapi di waktu akhir PSS kecolongan dan tercipta 1 gol dari tuan rumah. Kita kalah di sana. Kita semua merasa kecewa, tak sedikit yang hampir menangis mengingat poin 1 di depat mata dan tinggal menunggu beberapa detik tersisa. Tapi apakah ini salah Bogi yang gagal menghalau bola? Apakah salah Bruno yang tidak menempel ketat lawannya? Salahkan Trihandoko yang gagal memasukkan bola?? Atau Andrid yang gagal mengeksekusi sentuhan akhir di depan penjaga gawang? Mereka bermain sepenuh hati, mencoba mendapatkan poin di kandang lawan. Sedangkan kita? Kalau kalian semua masih ingat, kita mengeluh karena panas matahari, suara kita tak selantang biasanya dengan alas an kita kekeringan, kita lelah, kita kepanasan, kita kita kita kita dan masih banyak alas an untuk mengelak. Kekalahan di Rembang saya katakan sebagai kesalahan kita semua yang lupa untuk tetap bernyanyi lantang, untuk tetap bersemangat di tribun, berjingkrak seperti orang gila seperti biasanya kita lakukan di tribun-tribun terdahulu. Kita semua lupa untuk itu, kita menyerah pada keadaan sampai akhirnya keadaan menghukum kita dengan kekalahan. Ora muntir sebenarnya menjadi slogan kita di pertandingan itu. Aku tidak takut panas matahari, aku tidak takut suaraku habis, aku tidak takut lelah berdiri, aku tidak takut apapun demi PSS! Dan percayalah, kalau slogan ora muntir sudah kita semua pahami seperti itu, mimpi PSS menjadi juara tak akan lebih lama lagi.

CASUALS

Casuals merupakan salah satu bagian dari budaya didalam sepak bola, yang identik dengan hooligansime dan pakaian-pakaian mahal bermerek. Sub kultur ini lahir pada akhir dekade 70-an, di Britania Raya, dimana ketika itu banyak para hooligan klub-klub sepak bola, mulai mengenakan pakaian-pakaian mahal untuk menghindari perhatian polisi. Mereka tidak lagi mengenakan atribut-atribut beraroma logo-logo klub kesayangan, agar tidak dikenali, sehingga lebih mudah untuk menyusup kelompok musuh dan untuk masuk kedalam pub.
 
Jenis-jenis musik yang disukai oleh para Casuals pada akhir dekade 70-an adalah Oi!, Mod, dan Ska. Tak heran, karena beberapa Casuals itu merupakan pengikut dari sub kultur skinhead, mod, dan rude boy. Pada era 80-an, selera musik Casuals bersifat eklektik alias campur-campur. Pada akhir dekade 80-an dan 90-an awal, mereka cenderung menyukai scene Madchester (co: The Stone Roses), dan Rave. Dan di era 90-an saat sub kultur alternatif baru yang bernama Britpop, yang digunakan untuk melawan arus Grunge, para Casuals ini pun menjadi penggemar Britpop.
 
Ada pengaruh kuat dari budaya Rave terhadap Casuals, rave sendiri cenderung menyerukan perdamaian, sehingga banyak dari Casuals ini yang mengenakan pakaian-pakaian khas mereka, namun justru menjauhkan diri dari tindak hooliganisme. Kadang-kadang banyak band-band yang bergaya Casuals saat dipanggung dan dalam sesi pemotretan, seperti yang dilakukan Damon Albarn dan kawan-kawan di BLUR dalam video “Parklife” Sejak itu Brutal pop khas BLUR (kadang disebut juga indie rock) telah menjadi jenis musik yang paling disukai oleh Casuals.
 
SEJARAH
 
Sejak pertengahan dekade 50-an, para pendukung sepak bola di Inggris sudah mulai terpengaruh dengan gaya berpakaian Teddy Boys, yang tumbuh pada masa itu. Dan asal-usul budaya Casuals sendiri dapat dilihat dalam sub kultur Mod pada awal 60-an. Para pemuda pengikut sub kultur Mod, mulai membawa gaya berpakaiannya ke dalam teras sepak bola. Kemudian pengikut-pengikut sub kultur lain seperti Skinhead juga membawa gaya berpakaiannya kedalam teras sepak bola.
 
Ditandai dengan kebangkitan sub kultur Mod pada akhir 70-an, Casuals mulai tumbuh dan berubah setelah pendukung Liverpool, memperkenalkan merek-merek fashion Eropa yang mereka peroleh saat menemani klub kesayangan mereka melawan klub Perancis, Saint Etienne. Para pendukung Liverpool yang menemani klub kesayangan mereka menjalani laga melawan klub-klub Eropa, pulang ke Inggris dengan membawa pakaian-pakaian bermerek dari Italia dan Perancis, yang mereka jarah dari toko-toko.
 
Pada saat itu, para polisi masih fokus para pendukung yang bergaya Skinhead, dengan sepatu bot khasnya, Dr. Martens, dan tidak memperhatikan para penggemar yang menggunakan pakaian-pakaian mahal karya desainer-desainer ternama. Para pendukung Liverpool kemudian membawa lagi merek-merek pakaian yang tidak pernah dijumpai sebelumnya di Inggris. Dan para pendukung klub-klub lain pun mulai memburu merek-merek Eropa yang masih langka di Inggris. Adapun para pendukung Liverpool masih identik dengan Lacoste Shirt dan Adidas Training hingga saat ini.
 
Label pakaian yang terkait dengan Casuals pada tahun 1980 meliputi: Edinburgh Woollen Mill, Fruit of the Loom, Fila, Stone Island, Fiorucci, Pepe, Benetton, Sergio Tacchini, Ralph Lauren, Henri Lloyd, Lyle & Scott, Adidas, CP Company, Ben Sherman, Fred Perry, Lacoste, Kappa, Pringle, Burberry dan Slazenger. Trend berpakaian terus berubah dan subkultur Casuals mencapai puncaknya pada akhir 1980-an. Dengan lahirnya scene musik Acid House, Rave and Madchester. Dan kekerasan dalam sub kultur Casuals memudar hingga batas tertentu.
 
1990s and 2000s
 
Pada pertengahan 1990-an, sub kultur Casuals mengalami kebangkitan besar, tetapi penekanan pada gaya telah sedikit berubah. Banyak para penggemar sepak bola mengadopsi Casuals tampak sebagai semacam seragam, mengidentifikasi bahwa mereka berbeda dari pendukung klub biasa. Merek seperti Stone Island, Aquascutum, Burberry dan CP company terlihat di hampir setiap klub, serta merek-merek klasik favorit seperti Lacoste, Paul & Shark dan Pharabouth.
 
Pada akhir 1990-an, banyak pendukung sepak bola mulai bergerak menjauh dari merek-merek yang dianggap seragam Casuals, karena polisi mulai memerhatikan tindak tanduk Casuals. Selain itu beberapa desainer juga menarik produk-produk mereka setelah tau bahwa produk-produk mereka di pakai oleh Casuals.
 
Meskipun beberapa Casuals terus memakai pakaian Stone Island di tahun 2000-an, banyak dari mereka yang telah mencopot logo kompas Stone Island sehingga merek pakaian mereka menjadi tidak ketahuan. Namun, dengan dua tombol masih menempel, orang yang tahu masih bisa mengenali pakaian Casuals lainnya. Pada akhir 90-an itu beberapa pasukan polisi mencoba untuk menghubungkan logo kompas Stone Island dengan neo-Nazi versi dari salib Celtic.
 
Karena itu, label pakaian baru mulai memperoleh popularitas di antara Casuals. Seperti halnya produk-produk pakaian dari merek-merek ternama yang laku dipasaran, barang palsu yang murah juga mudah didapat. Prada, Façonnable, Hugo Boss, Fake London Genius, One True Saxon, Maharishi, Mandarina Duck, 6.876, dan Dupe telah mulai mendapatkan popularitas luas.
 
Casual fashion telah mengalami peningkatan popularitas di tahun 2000-an, setelah beberapa band-band Inggris seperti The Streets dan The Mitchell Brothers menggunakan pakaian kasual olahraga dalam video musik mereka. Budaya Casuals pun telah diangkat ke dalam media visual seperti film-film dan program televisi seperti ID, The Firm, Cass, The Real Football Factory dan Green Street Hooligans 1 & 2.
 
Pada tahun 2000-an, label pakaian yang terkait dengan pakaian Casuals termasuk: Stone Island, Adidas Originals, Lyle & Scott, Fred Perry, Armani, Three stroke, Lambretta, Pharabouth dan Lacoste. Namun menjelang akhir dekade 2000-an banyak Casuals yang menggunakan label-label independen seperti Albam, YMC, APC, Folk, Nudie Jeans, Edwin, Garbstore, Engineered Garments, Wood Wood dan Superga. Namun merek besar seperti Lacoste, Ralph Lauren dan CP Company masih popular di kalangan Casuals